Internasional

Krisis Inggris Makin Ngadi-ngadi, Tomat hingga Timun Hilang

News - Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
13 October 2021 12:03
The Union Jack flag flies above the Houses of Parliament from the Victoria Tower in London, Thursday, Sept. 12, 2019. The British government insisted Thursday that its forecast of food and medicine shortages, gridlock at ports and riots in the streets after a no-deal Brexit is an avoidable worst-case scenario. (AP Photo/Alastair Grant) Foto: Inggris (AP Photo/Alastair Grant)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis di Inggris diyakini akan berdampak lebih besar ke rantai makanan warga. Melonjaknya biaya energi dan tenaga kerja mengancam ketahanan pangan Inggris.

Mengutip Independent, pelaku industri menegaskan situasi kini amat genting. Bahkan melebihi saat awal pandemi, kala sepertiga dari industri makanan terpaksa tutup dalam waktu semalam.

Hal yang sama juga dikatakan serikat petani Inggris. Mahalnya energi telah menghantam petani tomat, timun dan kentang.

"Beberapa petani tomat dan mentimun telah menghentikan produksi karena mereka tidak mampu untuk memanaskan rumah kaca sementara petani kentang berjuang untuk menyerap kenaikan besar dalam biaya penyimpanan dingin," kata asosiasi petani di Inggris, NFU, dikutip Rabu (13/10/2021).

Bukan hanya itu, pupuk, yang jadi pengeluaran utama petani juga melonjak parah. Harga terdongkrak biaya gas dan listrik yang tinggi.

Jikapun bertahan, dipastikan harga ketiga pangan tersebut akan melonjak di konsumen. Bila tidak, makin banyak petani Inggris gulung tikar.

"Supermarket mencoba untuk memberikan apa yang mereka anggap demi kepentingan terbaik konsumen dalam hal harga rendah. Tetapi ada titik di mana Anda harus menyadari bahwa tekanan inflasi ini begitu nyata dan dramatis sehingga biaya harus naik," tegas salah seorang anggota NFU, Tom Bradshaw.

Tak hanya sayuran, daging pun juga akan langka. Kekurangan pekerja membuat peternakan di Inggris disebut akan mengalami kesulitan memenuhi permintaan yang makin melonjak seiring makin dekatnya perayaan Natal dan Tahun Baru.

Patrick Deeley mengaku selama ini mengandalkan 12 pekerja musiman untuk persiapan libur Desember. Namun setelah Brexit terjadi hampir 12 bulan, aturan imigrasi lebih ketat dan Covid-19 membuatnya sulit mendapat karyawan.

"Brexit, sejauh yang saya bisa lihat, merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap hal itu. Ini menciptakan hilangnya tenaga kerja secara besar-besaran," katanya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Fakta-fakta Krisis di Inggris, Apa Saja?


(sef/sef)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading