Internasional

Heboh Gadis-gadis China Ogah Nikah, Bisa Picu Resesi Seks?

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Kamis, 14/10/2021 08:00 WIB
Foto: REUTERS/ALY SONG

Jakarta, CNBC Indonesia - Studi terbaru tentang perilaku penduduk dilakukan di China. Hasilnya, hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah.

Dalam survei yang digarap oleh Liga Pemuda Komunis China itu, 44% responden wanita tidak berniat untuk menikah, dengan 25% responden pria survei mengatakan hal yang sama.


Kesimpulan ini didapat dari 2.905 pemuda yang belum menikah dan tinggal di perkotaan antara usia 18 dan 26 tahun.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan keengganan untuk menikah ini. Mulai dari tak punya waktu hingga biaya keuangan pernikahan dan beban ekonomi memiliki anak.

"Mereka yang disurvei mengatakan tidak punya waktu atau energi untuk menikah," kata laporan tersebut dikutip dari Insider, Rabu (13/10/2021).

Sepertiga responden juga mengatakan mereka tidak percaya pada pernikahan. Bahkan dalam persentase yang sama, mereka juga mengatakan tidak pernah jatuh cinta.

Dari seluruh alasan itu, ada juga satu alasan terkait kultur bekerja 9-9-6. Budaya ini adalah posisi bekerja di mana warga bekerja 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu.

Budaya ini paling kentara di perusahaan digital seperti Alibaba, Pinduoduo, dan JD.com. Hal ini membuat pekerja merasa terhalang dalam membina keluarga

Perusahaan menyebut kultur ini merupakan program "perjuangan". Karyawan diminta melepas hak dan tunjangannya untuk perkembangan perusahaan.

Pengadilan China pun sudah mulai menindak perusahaan semacam ini. Para Hakim mengingatkan agar perusahaan tetap menghormati hak dan kewajiban perusahaan dalam mempekerjakan para karyawannya.

"Tidak ada salahnya mempromosikan kerja keras, tetapi tidak bisa menjadi tameng bagi majikan untuk menghindari kewajiban hukum mereka," kata pengadilan.

Sementara itu, total populasi China masih mencapai 1,41 miliar orang. Data Reuters melaporkan bahwa mereka meleset dari target yang ditetapkan pada 2016 untuk mencapai 1,42 miliar orang pada 2020.

Lalu apakah China terinfeksi resesi seks?

Sebenarnya, resesi berarti kemerosotan. Adapun dalam istilah ekonomi, resesi dipakai saat terjadi pertumbuhan negatif dua kuartal berturut-turut dalam satu tahun.

Resesi seks sendiri merujuk pada turunnya mood pasangan untuk melakukan hubungan seksual, menikah dan punya anak. Istilah ini sempat dipakai koreponden CNBC International untuk menjelaskan penurunan hasrat seksual di AS yang pada akhirnya mempengaruhi pelemahan sektor ritel dan properti.

Di sejumlah negara, resesi seks kini muncul sebagai dampak dari sejumlah soal. Pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu biang keladi yang mengganggu rencana pasangan untuk menikah dan menjadi orang tua.

Di China sendiri, keinginan untuk memiliki anak memang menurun drastis. Bahkan China, yang tahun ini berusaha menerapkan kebijakan baru untuk meningkatkan angka kelahirannya.

Mei ini, China juga meluncurkan kebijakan tiga anak baru, mencabut larangan sebelumnya untuk memiliki lebih dari dua anak per pasangan. Pada 2016, pemerintah China sempat membalikkan kebijakan satu anak, yang diterapkan pada 1979 untuk menekan ledakan populasi negara itu.

Pergeseran penting dalam kebijakan kependudukan China tahun ini terjadi setelah laporan bahwa negara itu mencatat tingkat pertumbuhan populasi paling lambat sejak 1950-an. Angka-angka ini terungkap dalam sensus penduduk sekali dalam satu dekade, yang mencatat bahwa tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata penduduk Cina turun menjadi 0,53% selama sepuluh tahun terakhir, turun dari 0,57% antara tahun 2000 dan 2010.


(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Populasi di Asia Terus Menyusut, Termasuk dari Negeri K-Pop