
Pajak Naik, Belanja Baju Hingga Makanan Bikin Kantong Bolong!

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid mengungkapkan, pada 2022 Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi. Sementara saat yang sama, pajak malah dinaikkan. Tentu hal ini akan menjadi disinsentif pemulihan ekonomi.
"Karena, ketika proses pemulihan masyarakat maupun dunia usaha, sangat membutuhkan berbagai insentif atau fasilitas perpajakan," ujar Ahmad.
"Dengan adanya kenaikan perpajakan, terutama PPN ini akan disinsentif untuk pemulihan ekonomi 2022," ujarnya lagi.
Indef sudah mengkalkulasi perhitungan kenaikan tarif pajak menjadi 12% pada 2025. Hasilnya, seluruh indikator makro ekonomi akan berantakan.
"Inflasi akan meningkat, PDB (Produk Domestik Bruto) turun dan upah riil akan meningkat. Ekspor dan impor akan turun," jelas Ahmad.
Oleh karena itu, Ahmad meminta agar pemerintah berhati-hati dalam memutuskan kebijakan kenaikan PPN. Karena basis PPN di Indonesia cukup luas di sektor produksi, terutama untuk perdagangan barang dan jasa.
"Jadi, katakanlah kenaikan tarif pajak jadi 11%, belum tentu menjadi perbaikan ekonomi cukup signifikan. Saya kira belum tepat kalau ini (kenaikan PPN) dilakukan tahun depan," ujarnya.
"Akan tepat ketika memang proses pemulihan ekonomi sudah dilakukan ke titik awal sebelum pandemi, minimal PDB kita sama saat 2018 dan 2019 lalu," kata Ahmad melanjutkan.
Belajar dari pengalaman di Jepang, kenaikan tarif PPN akan langsung menurunkan konsumsi. Pada 1997, pemerintah Negeri Matahari Terbit menaikkan tarif PPN dari 3% jadi 5%. Hasilnya, konsumsi rumah tangga terkontraksi 0,76% pada 1998.
Pada 2014, tarif PPN kembali dinaikkan dari 5% menjadi 8% dan pada Oktober 2015 naik lagi jadi 10%. Pada 2016, konsumsi rumah tangga tumbuh -0,93%.
Mengutip laporan Japan Research Institute (JRI), kenaikan tarif PPN akan menaikkan harga barang dan jasa sebesar 0,9%. Ini akan membuat pengeluaran konsumen berkurang 0,6% dan berdampak 0,4% terhadap PDB.
(mij/mij)[Gambas:Video CNBC]