Internasional

Fenomena Apa Ini? Krisis Energi Hantam Inggris sampai China

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
28 September 2021 08:55
PM Inggris Boris Johnson. (AP/Justin Tallis)
Foto: PM Inggris Boris Johnson. (AP/Justin Tallis)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inggris dan China saat ini sedang mengalami krisis energi. Sejumlah masalah muncul mulai dari mahalnya harga listrik, langkanya makanan dan padamnya sumber penerangan warga.

Di Inggris, krisis terjadi akibat naiknya harga gas di Eropa. Harga gas melambung tinggi di kawasan tersebut bahkan naik 250% sejak Januari 2021.

Salah satu alasan mengapa harga mengalami kenaikan adalah dibukanya kembali ekonomi negara-negara setelah penguncian akibat Covid-19. Ini dikombinasikan dengan masuknya musim dingin, yang mendorong permintaan lebih tinggi, baik di Eropa maupun Asia.

Pasokan gas juga berkurang akibat penghentian produksi di fasilitas milik Amerika Serikat (AS). Ini juga akibat pengetatan aturan pasar karbon di Uni Eropa (UE).

Ada juga isu manipulasi perusahaan gas Rusia, Gazprom, untuk mendongkrak harga. Belum lagi listrik tenaga angin yang tak maksimal berfungsi saat musim dingin.

Akibat hal ini, di Negeri Ratu Elizabeth itu, tagihan listrik warga membengkak menjadi yang paling mahal di Eropa. Tarif listrik telah naik tinggi, bahkan mencapai 475 pound atau sekitar Rp 9,3 juta.

Harga kontrak pembelian listrik juga mendekati rekor tertinggi di Inggris. Karena banyaknya listrik yang diimpor dari Prancis.

Tak sampai di situ saja, industri energi pun terancam bangkrut berjamaah. Harga produksi listrik rata-rata 291,18 euro (Rp 4,8 juta) per megawatt-jam.

Menurut perusahaan analisis energi LCP Enact, harga maksimum untuk Inggris kemarin, bisa setinggi 1.083,78 euro (Rp 18,1 juta) per megawatt-jam. "Semua pemasok akan merasa sangat sulit saat ini," kata Robert Buckley, kepala pengembangan hubungan di Cornwall Insight dikutip CNBC International.

Lonjakan harga pasti akan menyebabkan lebih banyak kebangkrutan perusahaan.

Pemerintah Inggris kini pun kini sedang mempertimbangkan pinjaman bailout untuk pemasok energi. Menteri Bisnis Kwasi Kwarteng bertemu dengan perusahaan energi Inggris untuk memastikan masalah ini.

Berusaha meyakinkan publik, Perdana Menteri (PM) Boris Johnson mengatakan krisis harga hanya akan terjadi sementara. Inggris memiliki batasan berapa banyak pemasok dapat membebankan konsumen, dan batas harga ditinjau oleh pemerintah setiap enam bulan.

Sementara itu kenaikan harga gas telah berimbas pada ditutupnya dua pabrik pupuk besar di Teesside dan Cheshire tutup. Pabrik ini diketahui menghasilkan karbon dioksida (CO2) sebagai produk sampingan.

CO2 digunakan untuk penyembelihan dan sistem pendingin guna memperpanjang stok makanan, seperti daging, unggas bahkan minuman bersoda. Kepala Eksekutif Asosiasi Pengelola Daging di Inggris mengatakan dua minggu lagi kemungkinan produk-produk akan menghilang di rak-prak supermarket.

"80% babi dan unggas disembelih dengan proses ini," tegasnya, dikutip Sky News.

Hal sama juga dikatakan perusahaan penyuplai makanan Inggris, Bernard Matthews dan 2 Sisters Food Group. Pasokan kalkun untuk Natal misalnya terancam.

"Sekarang tanpa pasokan CO2, Natal bisa batal," kata pemilik perusahaan Ranjit Singh Boparan.

Halaman 2>>

Negeri Tirai Bambu kini harus menghadapi krisis energi. Warga di beberapa provinsi utara kini dilanda pemadaman listrik.

Ini terjadi setidaknya di Provinsi Guangdong, pusat industri, lalu Liaoning, Jilin dan Heilongjiang. Warga mengalami pemadaman listrik selama akhir pekan.

Kini, orang-orang diminta untuk mengatur AC mereka di atas 26 derajat celcius agar pasokan bisa tetap terjaga. Bukan hanya listrik, warga juga harus bersiap dengan pemadaman air.

Media setempat Caixin menulis, administrasi Guangdong mengeluarkan pemberitahuan ke industri untuk membantu mencegah pemadaman meluas. Salah satunya dengan menghindari penggunaan lift dan beralih ke tangga, untuk tiga lantai pertama.

"Situasi ini diperkirakan akan terus terjadi hingga Maret tahun depan," tulis Bloomberg melaporkan, Senin (27/9/2021).

Sebenarnya konsumsi listrik China memang telah tumbuh meningkat seiring penguatan ekonomi. Tetapi misi pemerintah membatasi emisi karbon, membuat situasi "kurang konsusif".

Ini berdampak pada ditutupnya sebagian besar pembangkit listrik tenaga fosil. Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional pada akhir pekan menyebut bahwa kelangkaan energi ini telah mengganggu produksi sejak Juni.

Pupuk misalnya adalah yang paling terpukul. Industri itu sangat bergantung pada gas dan meminta produsen energy utama negara untuk memenuhi kontrak pasokan penuh ke mereka.

Lebih luas, setidaknya 15 perusahaan mengatakan produksi mereka telah terganggu. Ini termasuk produsen bahan baku seperti aluminium, tekstil, dan kedelai.

"Ini termasuk Yunnan Aluminium sebuah unit dari grup logam milik negara China, Chinalco. Perusahaan telah memangkas target produksi aluminium 2021 lebih dari 500.000 ton atau hampir 18%," tulis Reuters.

Sementara itu, pekan lalu, di sidang PBB, Presiden China Xi Jinping menegaskan kembali target yang cukup ambisius dalam mengurangi emisi karbon pada 2030. Ia berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan.

Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan100 giga watt pembangkit tenaga surya dan 50 giga watttenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhan energi terbarukan tahunan China yang baru mencapai setengah dari itu.

"Pertumbuhan China telah didorong selama beberapa dekade oleh kredit dan karbon, dan Beijing akhirnya tampaknya mulai serius untuk mengubahnya," ujar ekonom Bloomberg, David Fickling.



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular