Tolak Revisi Aturan PLTS Atap, Kelompok Ini Lapor Jokowi
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) gencar mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Demi mempercepat pemanfaatan PLTS Atap, pemerintah tengah merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).
Salah satu poin yang direvisi dalam Peraturan Menteri ESDM ini yaitu mengenai ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero), yang mulanya dibatasi 65%, direvisi menjadi 100%. Ekspor impor listrik yang diubah menjadi 100% menuai pro dan kontra, bahkan berujung surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Adapun sembilan orang dari beragam institusi, baik pengamat maupun ekonom, mengirim surat penolakan rencana revisi Permen ESDM ini kepada Jokowi.
Salah seorang yang tergabung dalam kelompok pengirim surat tersebut yaitu Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Marwan mengatakan, target bauran energi 23% pada 2025 bukanlah target yang harus dicapai dengan biaya berapa pun, tanpa mempertimbangkan berbagai potensi kerugian yang akan ditimbulkan.
"Negara, PLN, dan rakyat berpotensi mengalami kerugian, terutama akibat perubahan tarif ekspor listrik dari semula 65% menjadi 100%, seperti diuraikan berikut," paparnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (21/09/2021).
Dia mengatakan, ada delapan poin penting dari surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden. Pertama, bisnis PLN akan mengalami kerugian akibat aturan ini karena tidak memperhitungkan susut jaringan dalam proses ekspor listrik.
"Ketentuan tersebut tidak memperhitungkan nilai ekonomi dari fasilitas/ infrastruktur yang dibangun oleh PLN dan juga didanai oleh APBN," paparnya.
Poin kedua, terjadi perubahan motif pemasangan PLTS Atap, dari yang mulanya green lifestyle menjadi berburu keuntungan bisnis yang dia sebut sebagai Independent Power Producer (IPP) mikro, tanpa mengikuti kaidah bisnis pada umumnya.
Ketiga, kewajiban untuk membeli listrik EBT PLTS Atap berpotensi mengganggu arus kas PLN dan menambah beban subsidi listrik di APBN. Menurutnya, dengan masuknya listrik dari PLTS Atap bakal mendorong peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik secara keseluruhan.
"Pada akhirnya akan meningkatkan anggaran subsidi listrik di APBN untuk setiap tahun anggaran," ujarnya.
Keempat, daya listrik nasional menjadi tidak stabil karena tidak adanya batasan kapasitas terpasang PLTS Atap. Kondisi ini akan menambah biaya operasi dan menurunkan efisiensi sistem kelistrikan nasional.
Kelima, berpotensi semakin menambah beban keuangan PLN. Sistem kelistrikan Jawa-Bali dan Sumatera saat ini sedang mengalami kelebihan produksi listrik yang cukup besar. Masuknya pasokan listrik dari PLTS Atap ini akan membuat pasokan menjadi semakin berlebih.
Keenam, PLN menanggung beban biaya akibat kelebihan pasokan dan kebijakan 'Take or Pay' (TOP) dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara 35.000 MW.
Ketujuh, alokasi subsidi listrik di APBN menjadi tidak tepat sasaran. Menurutnya, berdasarkan data dari Kementerian ESDM mayoritas pelanggan PLN adalah non subsidi 2.200 - 6.600 Volt Ampere (VA).
"Pembelian listrik ekspor PLTS Atap akan menambah anggaran subsidi listrik di APBN, namun yang menikmati pelanggan non subsidi," ujarnya.
Dan terakhir, nilai tambah dan manfaat ekonomi PLTS Atap terhadap perekonomian nasional masih relatif kecil. Saat ini Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) PLTS Atap masih cukup rendah dan belum memenuhi ketentuan regulasi TKDN pemerintah.
Selanjutnya, berdasarkan delapan catatan mengenai rencana revisi Permen PLTS Atap tersebut, ada tiga rekomendasi yang diberikan, di antaranya:
1. Untuk keadilan bagi seluruh pihak terkait, maka ketentuan mengenai tarif ekspor listrik harus dipertahankan pada nilai 65%.
2. Untuk memudahkan perencanaan dan menjaga stabilitas sistem kelistrikan, maka perlu dilakukan pembatasan kapasitas terpasang dan pembelian listrik PLTS Atap sesuai kebutuhan sistem kelistrikan nasional.
3. Mempertimbangkan manfaat dan nilai tambah ekonomi nasional masih rendah, maka pemerintah perlu menunda revisi regulasi sampai industri PLTS di dalam negeri telah siap atau telah dapat memenuhi ketentuan TKDN yang ditetapkan pemerintah.
(wia)