Sederet Alasan Pemerintah Izinkan Ekspor Listrik PLTS 100%

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
27 August 2021 14:58
Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah melakukan revisi pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Salah satu ketentuan utama yang direvisi adalah terkait ekspor listrik, dari yang mulanya dibatasi 65%, kini direvisi menjadi 100%.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, angka 65% yang saat ini berlaku dianggap tidak menarik bagi pelanggan, sehingga pengembangan PLTS Atap pun berjalan sangat pelan, penambahan kapasitas PLTS Atap pun belum sesuai dengan target yang diharapkan.

Dalam perjalanan 3,5 tahun ini, baru ada 35 mega watt (MW) kapasitas PLTS Atap terpasang.

"Masih jauh dari apa yang mestinya Indonesia bisa lakukan untuk penambahan energi terbarukan melalui pemanfaatan PLTS Atap. Angka 65% belum menarik sejak 3,5 tahun baru 35 MW ," paparnya dalam konferensi pers, Jumat (27/08/2021).

Oleh karena itu, menurutnya yang paling sederhana dilakukan adalah menaikkan ekspor listrik dari batasan 65% menjadi 85%, 90%, atau 100%. Menurutnya, ini dilakukan sebagai bentuk perhatian pemerintah.

Dia mengatakan, Menteri ESDM meminta agar insentif diberikan di awal.

"Usulan kami ekspor listrik yang 65% jadi 100%," ujarnya.

Selain meningkatkan ketentuan ekspor listrik menjadi 100%, pemerintah juga menerima masukan bahwa untuk meningkatkan keekonomian PLTS Atap, ketentuan terkait selisih ekspor impor energi listrik yang hanya diakumulasikan paling lama tiga bulan perlu diperpanjang, khususnya bagi konsumen gedung perkantoran yang pada hari Sabtu dan Minggu produksi listrik PLTS Atapnya bisa diekspor seluruhnya.

Oleh karena itu, pada peraturan baru nantinya selisih ekspor impor listrik yang diakumulasikan ini diperpanjang menjadi enam bulan.

Perlu diketahui, pada Permen ESDM No.49/2018 ini pada Pasal 6 (4) dan (5) mengatur bahwa:

(4) Selisih lebih yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diakumulasikan paling lama 3 bulan untuk perhitungan periode tagihan listrik bulan
Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, atau Oktober sampai dengan Desember.

(5) Dalam hal akumulasi selisih lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) masih tersisa setelah perhitungan periode tagihan listrik bulan Maret, Juni,
September atau bulan Desember tahun berjalan, selisih lebih dimaksud akan dinihilkan dan perhitungan selisih lebih dimulai kembali pada periode tagihan listrik bulan April, Juli, dan Oktober tahun berjalan atau bulan Januari tahun berikutnya.

Tak hanya itu, menurutnya urgensi dari revisi Permen ESDM tentang PLTS Atap ini yaitu adanya pengaduan masyarakat terkait waktu pelayanan PLTS Atap yang tidak sesuai dengan Permen ESDM, serta perbedaan harga dan standar kWh meter ekspor impor.

Oleh karena itu, dalam salah satu ketentuan peraturan baru ini nantinya ada klausul yang mengatur tentang jangka waktu permohonan PLTS Atap yang dipersingkat menjadi 12 hari bagi yang melakukan perubahan pada Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dari sebelumnya 15 hari. Lalu, maksimal 5 hari untuk yang tanpa perubahan PJBL.

Selain itu, di peraturan baru nantinya juga dimasukkan ketentuan tentang pusat pengaduan sistem PLTS Atap, sehingga keluhan masyarakat bisa ditindaklanjuti.

Dadan juga mengatakan, adanya gap informasi terkait PLTS Atap yakni pemahaman terhadap regulasi dan waktu layanan PLTS Atap antara PLN Unit Induk (UIW/UID) dengan PLN ULP di lapangan.

Tak hanya itu, direvisinya peraturan terkait PLTS Atap ini menurutnya juga didasarkan pada kecenderungan konsumen untuk mengonsumsi produk hijau (green product) yang harus segera dipenuhi industri secara cepat agar produknya tetap kompetitif dan tetap bisa diterima konsumen.

"Selain itu, ini juga untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pendukung PLTS di dalam negeri," ujarnya.

Perlu diketahui, pemerintah mempunyai tiga program untuk pemanfaatan PLTS. Pertama adalah PLTS Skala Kecil, diperuntukan bagi masyarakat yang belum punya akses listrik.

Kedua, PLTS Skala Besar. Salah satu proyek PLTS Skala besar yang sedang dikembangkan adalah PLTS Terapung Cirata, di mana sudah mencapai tahap kepastian pendanaan (financial close) pada 2 Agustus 2021 dan diharapkan pada November 2022 Indonesia akan punya PLTS terbesar di Asia Tenggara berkapasitas 145 MW ini.

Program ketiga adalah PLTS Atap yang dikembangkan oleh konsumen, baik PLN maupun wilayah usaha lainnya. Pemerintah menargetkan sebanyak 3.614,9 Mega Watt (MW) atau sekitar 3,6 Giga Watt (GW) PLTS Atap dapat dikembangkan.

Pihaknya pun menargetkan kapasitas 3,6 GW ini bisa tercapai paling cepat pada 2024 atau setidaknya pada 2025 mendatang.

Adapun target pelanggan 3,6 GW PLTS Atap ini antara lain 6.422 pelanggan golongan sosial, 772.508 pelanggan rumah tangga, 218.229 pelanggan bisnis, 18.224 pelanggan industri, 7.098 pelanggan pemerintah, sehingga totalnya mencapai sekitar 1 juta pelanggan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular