
Harta Karun Energi RI Melimpah, Target EBT Mestinya Tercapai

Meski Indonesia punya banyak potensi EBT yang membuat target bauran EBT 23% pada 2025 sangat mungkin dicapai, namun berbagai kendala menghadang. Energi surya misalnya, memiliki sifat intermiten (berjeda).
Oleh karena itu, dalam memanfaatkannya diperlukan Energy Storage System (ESS) atau semacam "power bank" raksasa untuk menyimpan daya. Pemerintah sempat menyampaikan jika Tesla Inc., perusahaan mobil listrik asal AS, tertarik berinvestasi di sektor ESS, namun sampai saat ini belum ada kejelasan.
Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, pemerintah Indonesia masih berdialog dengan Tesla hingga saat ini.
"Masih on going," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (23/07/2021), saat ditanya bagaimana kelanjutan negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan Tesla.
Tidak hanya pemanfaatan energi surya, pemanfaatan panas bumi juga menemui kendala pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik yang masih mahal.
Jika dibenturkan dengan PLTS yang semakin murah, bahkan sudah ada yang US$ 4 sen per kWh, maka listrik dari panas bumi menjadi tidak kompetitif. Harris, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, mengakui kurang diminatinya proyek panas bumi karena berkaitan dengan BPP.
Dia mengatakan, sesuai keekonomian, harga listrik panas bumi saat ini rata-rata masih di atas US$ 10 sen per kWh, bahkan ada yang US$ 12-13 sen per kWh. Guna mengurangi beban biaya pengembang, pemerintah turut melakukan pengeboran eksplorasi panas bumi.
Saat ini para pengembang panas bumi menantikan ditetapkannya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik berbasis EBT, termasuk tarif listrik panas bumi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Perubahan aturan tarif listrik panas bumi dinantikan agar harga listrik di sektor panas bumi bisa memenuhi keekonomian proyek pengembang, sehingga pengembang pun mau mengembangkan proyek ini. Sayangnya, Perpres ini belum kunjung disahkan.
Mengenai upaya pemerintah yang turut serta melakukan pengeboran panas bumi, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi memberikan apresiasi, karena risiko eksplorasi bisa ditekan.
Meski demikian, ikut melakukan pengeboran dengan menggunakan dana APBN menurutnya bukanlah sebuah solusi karena keuangan negara terbatas.
"Selama penjualan listrik ke masyarakat oleh PLN tidak boleh naik atau diatur oleh pemerintah bukan berdasarkan keekonomiannya, nggak bisa disalahkan kalau PLN mencari fuel yang murah atau terjangkau," tuturnya.
Menurutnya, semua jenis energi seharusnya saling melengkapi, bukan untuk dikompetisikan. Pasalnya, ongkos produksi setiap jenis energi berbeda-beda, tergantung pada besaran bauran energi yang digunakan.
"Mereka sifatnya saling melengkapi. Ada yang mahal dan ada yang murah, sehingga referensi tarif bukan yang termurah, tapi yang optimum berdasarkan bauran energi tersebut," jelasnya.
(wia)