Harta Karun Energi RI Melimpah, Target EBT Mestinya Tercapai

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
27 August 2021 10:20
PLTP (Dok: PLN)
Foto: PLTP (Dok: PLN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memiliki target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada 2025 mendatang. Akan tetapi, sampai dengan tahun 2020, capaiannya baru sebesar 11,2%. Artinya, pemerintah masih perlu bekerja ekstra keras untuk mencapainya.

Padahal, Indonesia memiliki "harta karun" yang besar di sektor energi baru terbarukan, misalnya saja potensi energi surya mencapai 207 Giga Watt (GW), namun pemanfaatannya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baru 153,8 Mega Watt (MW) atau 0,07%, kurang 1% dari potensi yang ada.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, meski capaian masih rendah namun pemanfaatannya semakin masif dalam lima tahun terakhir.

Dia mengatakan, pada 2015 pemanfaatan energi surya baru 33,4 MW dan sampai akhir tahun 2020 sudah mencapai 153,8 MW. Meningkatnya pemanfaatan PLTS ini salah satunya karena ongkos produksi listriknya yang semakin murah.

"Contoh kapasitas di atas 10 MW pada lima tahun lalu US$ 10 sen per kilo Watt hour (kWh) dan saat ini sudah US$ 5,81 sen per kWh. PLTS Terapung Cirata, Bali sudah ada US$ 5,5 sen dan masih ada penawaran US$ 3,68 sen, harga yang kompetitif jadi indikasi proyek PLTS dikembangkan," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

Tidak hanya energi surya, Indonesia juga dianugerahi "harta karun" EBT dari sektor panas bumi (geothermal) di mana potensi energi panas bumi Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia, tepatnya 23.965,5 Mega Watt (MW), di bawah Amerika Serikat (AS) 30.000 MW.

Namun pemanfaatannya untuk Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) hingga 2020 baru mencapai 2.130,7 MW atau 8,9% dari total sumber daya yang ada.

Selain dari sektor kelistrikan, pemerintah juga punya potensi untuk mendorong bauran melalui mandatori pemanfaatan biodiesel, di mana saat ini sudah mencapai biodiesel 30% atau B30.

Biodiesel berperan besar dalam memberikan kontribusi bauran energi di mana pada 2020 kontribusinya mencapai 35%. Tidak berhenti di B30, pemerintah mendorong pemanfaatannya ke B40, bahkan sampai B100.

Meski Indonesia punya banyak potensi EBT yang membuat target bauran EBT 23% pada 2025 sangat mungkin dicapai, namun berbagai kendala menghadang. Energi surya misalnya, memiliki sifat intermiten (berjeda).

Oleh karena itu, dalam memanfaatkannya diperlukan Energy Storage System (ESS) atau semacam "power bank" raksasa untuk menyimpan daya. Pemerintah sempat menyampaikan jika Tesla Inc., perusahaan mobil listrik asal AS, tertarik berinvestasi di sektor ESS, namun sampai saat ini belum ada kejelasan.

Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, pemerintah Indonesia masih berdialog dengan Tesla hingga saat ini.

"Masih on going," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (23/07/2021), saat ditanya bagaimana kelanjutan negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan Tesla.

Tidak hanya pemanfaatan energi surya, pemanfaatan panas bumi juga menemui kendala pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik yang masih mahal.

Jika dibenturkan dengan PLTS yang semakin murah, bahkan sudah ada yang US$ 4 sen per kWh, maka listrik dari panas bumi menjadi tidak kompetitif. Harris, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, mengakui kurang diminatinya proyek panas bumi karena berkaitan dengan BPP.

Dia mengatakan, sesuai keekonomian, harga listrik panas bumi saat ini rata-rata masih di atas US$ 10 sen per kWh, bahkan ada yang US$ 12-13 sen per kWh. Guna mengurangi beban biaya pengembang, pemerintah turut melakukan pengeboran eksplorasi panas bumi.

Saat ini para pengembang panas bumi menantikan ditetapkannya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik berbasis EBT, termasuk tarif listrik panas bumi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Perubahan aturan tarif listrik panas bumi dinantikan agar harga listrik di sektor panas bumi bisa memenuhi keekonomian proyek pengembang, sehingga pengembang pun mau mengembangkan proyek ini. Sayangnya, Perpres ini belum kunjung disahkan.

Mengenai upaya pemerintah yang turut serta melakukan pengeboran panas bumi, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi memberikan apresiasi, karena risiko eksplorasi bisa ditekan.

Meski demikian, ikut melakukan pengeboran dengan menggunakan dana APBN menurutnya bukanlah sebuah solusi karena keuangan negara terbatas.

"Selama penjualan listrik ke masyarakat oleh PLN tidak boleh naik atau diatur oleh pemerintah bukan berdasarkan keekonomiannya, nggak bisa disalahkan kalau PLN mencari fuel yang murah atau terjangkau," tuturnya.

Menurutnya, semua jenis energi seharusnya saling melengkapi, bukan untuk dikompetisikan. Pasalnya, ongkos produksi setiap jenis energi berbeda-beda, tergantung pada besaran bauran energi yang digunakan.

"Mereka sifatnya saling melengkapi. Ada yang mahal dan ada yang murah, sehingga referensi tarif bukan yang termurah, tapi yang optimum berdasarkan bauran energi tersebut," jelasnya.

Bauran EBT sampai 2020 mencapai 11,2%, namun pada pertengahan 2021 ini persentasenya justru turun.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, tahun ini mestinya bauran energi ditargetkan meningkat jadi 14,5%.

Dadan menyebut, turunnya persentase bauran EBT akibat beberapa proyek EBT yang mengalami keterlambatan. Selain itu, menurutnya pemanfaatan sektor energi juga masih banyak didorong dari energi fosil.

"Akhir perhitungan kami di pertengahan tahun angkanya bukan naik, tapi turun, turunnya karena ada proyek EBT kena delay dan pemanfaatan energi banyak tumbuh didorong dari sisi fosil," paparnya dalam webinar IESR, Kamis (19/08/2021).

Meski secara persentase bauran turun, namun secara volume EBT mengalami kenaikan. Sampai pertengahan tahun 2021 ini, kapasitas pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan sudah bertambah 217 MW yang sifatnya masuk ke dalam sistem jaringan (on grid) PLN.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT hingga 2020 mencapai 10.467 MW, lalu pada 2021 ini ditargetkan meningkat menjadi 12.009 MW.

"Ini capaian bagus, untuk mencapai 23%, kerja 4-5x dari sekarang, sehingga bisa declare di tahun 2025 target 23% bisa tercapai," ujarnya.

Dalam mengembangkan EBT, Indonesia perlu dari negara lain. Pakar Energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Pekik Argo Dahono mengatakan negara yang bisa jadi kiblat dalam mengembangkan EBT adalah China dan India.

Dia mengatakan, kontribusi EBT di Indonesia masih sangat rendah, berbeda dengan India dan China yang jauh lebih maju. Selain itu, kedua negara ini tidak menggunakan sistem penyimpanan energi atau ESS yang besar meski EBT yang digunakan masif.

Begitu pun dengan negara-negara di Eropa. Dia menjelaskan, negara-negara di Eropa seperti Denmark dan Portugal juga besar pengembangan energi baru terbarukannya.

Pasalnya, ini didukung oleh sistem kelistrikan yang sudah tersambung semuanya, sehingga mereka bisa saling berbagi sumber daya yang ada. Masalah intermitensi pada energi baru terbarukan pun bisa diatasi tanpa harus adanya sistem penyimpanan energi (ESS).

Kondisi serupa menurutnya juga terjadi di China dan India. China pun lebih memprioritaskan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) karena produksi listriknya bisa lebih stabil bila dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya seperti matahari atau angin.

"Itu sebabnya, saya minta digenjot awal adalah PLTA dan panas bumi, karena dia bisa mengatasi fluktuasi energi angin dan matahari," tuturnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular