Internasional

Fantastis! AS 'Buang-buang' Rp 32.000 T di Perang Afghanistan

Hidayat Arif Subakti, CNBC Indonesia
Minggu, 22/08/2021 06:25 WIB
Foto: Biden gelar pesta di gedung putih. (AP/Patrick Semansky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Militer Amerika Serikat (AS) masuk menginvasi Afghanistan sejak Desember 2001 setelah terjadi serangan teror di AS yang menewaskan hampir 3.000 jiwa pada 11 September 2001.

Dalam serangan yang terkenal dengan sebutan 9/11 ini, beberapa pesawat yang dibajak menabrak gedung World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Arlington County, Virginia.

Osama bin Laden, pemimpin kelompok teroris al-Qaeda, dinyatakan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas serangan tersebut. Namun Taliban, kelompok radikal Islam yang menguasai Afghanistan saat itu, dan melindungi Bin Laden dan menolak untuk menyerahkannya ke AS yang kala itu dipimpin George W Bush (Januari 2001-2009).


Itulah sebabnya, sebulan setelah tragedi 9/11 itu, AS melancarkan serangan udara ke Afghanistan guna menyerang Taliban dan al-Qaeda.

Tapi kini, setelah 20 tahun berlalu, akhirnya tercapai peace deal, dan kini AS akan menarik diri seluruhnya setelah Presiden AS Joe Biden akan memulangkan semua pasukan AS paling lambat 11 September mendatang.

Lantas berapa dana yang sudah digelontorkan AS dalam perang tersebut?

Sejak tahun 2001, AS ternyata telah menghabiskan sekitar US$ 2,26 triliun atau setara dengan Rp 32.318 triliun (kurs Rp 14.300/US$) untuk membiayai proyek perang di Afghanistan.

Hal ini berdasarkan hitungan yang dilakukan oleh Brown University, di mana perang di Afghanistan menjadi perang terpanjang bagi AS dan dinilai berakhir kacau dan 'memalukan'.

Dilansir dari Aljazeera, riset tersebut mengungkapkan, meski belum ada tolak ukur yang jelas untuk menghitung perang terpanjang bagi AS ini, namun gambaran orang Afghanistan yang berkerumun di Bandara Kabul karena mati-matian melarikan diri dari kekuasaan Taliban mencerminkan gagalnya AS menjadikan Afghanistan sebagai negara yang berdaulat.

Keinginan Amerika untuk menjadikan Afghanistan sebagai negara demokrasi liberal juga perlu diaudit secara menyeluruh karena menghabiskan begitu banyak modal, sehingga kegagalan yang sama tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

Data riset itu mengungkapkan, untuk membangun sebuah bangsa perlu adanya landasan keimanan yang jelas. Tanpa adanya rasa aman, maka ketidakstabilan dan korupsi bisa tumbuh subur, sementara pertumbuhan ekonomi kian lesu.

Menurut perhitungan proyek biaya perang di Brown University, AS telah menghabiskan sekitar US$ 2,26 sejak tahun 2001 era awal George W Bush.

Sebagian besar, sejumlah US$ 1 triliun atau setara Rp 14.300 triliun digunakan untuk anggaran operasi kontingensi luar negeri Departemen Pertahanan.

Kemudian sekitar US$ 530 miliar atau setara dengan Rp 7.579 triliun dipergunakan untuk membayar bunga atas uang yang dipinjam pemerintah AS untuk membiayai perang.

Meski telah menghabiskan triliunan dolar, namun ekonomi Afghanistan tidak banyak terbantu dan bahkan menjadi salah satu negara termiskin di dunia.

Presiden Afghanistan Ashraf Ghani bahkan mengatakan 90% populasi penduduknya harus hidup dengan penghasilan di bawah US$ 2 dolar (Rp 28.000) per hari.

Mirisnya pasar gelap justru berkembang pesat sejak Taliban diusir dari Afghanistan tahun 2001, di mana negara tersebut bahkan menjadi pemasok opium dan heroin.

Kini pembangunan di Afganistan telah kehilangan harapan. Presiden Ashraf Ghani telah melarikan diri dan membiarkan Taliban duduk di kursi pemerintahannya.

Sejumlah anggota Taliban bahkan berselfie ria di istana presiden Afghanistan, dan hal ini menjadi hasil yang memilukan dari nilai US$ 2 triliun yang dihabiskan oleh AS, serta kegagalan Negeri Paman Sam dalam perang panjang yang berlangsung selama 20 tahun.

Dana sebesar US$ 2 triliun itu sebetulnya juga sama dengan dana anggaran infrastruktur era Presiden Joe Biden.

Pada 31 Maret 2021, Biden merilis rencana pendanaan infrastruktur jumbo sebesar US$ 2 triliun atau setara dengan Rp 28.000 triliun untuk mempercepat pembangunan ekonomi pascapandemi Covid-19 di negeri adidaya itu.

Dikutip CNBC International, Kongres AS sebelumnya telah mengesahan stimulus bantuan Biden senilai US$ 1,9 triliun awal bulan Maret.

Biden menegaskan langkah terbarunya ini akan menciptakan lapangan kerja, mengubah infrastruktur AS dan melawan perubahan iklim. Di fase kedua, rencana bantuan ini akan meningkatkan pendidikan dan memperluas cuti berbayar serta cakupan perawatan kesehatan.

"Ini adalah investasi yang harus kami lakukan," kata Biden, dikutip CNBC International

Dana raksasa ini akan difokuskan untuk pembenahan infrastruktur transportasi, sarana digital, air bersih, kelistrikan. Ini juga disalurkan untuk fasilitas pendidikan, perumahan, riset dan penelitian, serta perawatan lansia.


(tas/tas)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Konflik Iran-Israel Meledak, Awas Perang Meluas!