Warning, Beban Utang Pemerintah Melonjak di Tahun Depan
Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan ekspansif dalam menangani pandemi di dua tahun terakhir, membuat pemerintah mewaspadai risiko beban utang yang bisa meningkat di tahun depan.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan dimaksud, pengelolaan risiko utang, diklaim pemerintah terus dilakukan secara hati-hati untuk menjaga tingkat risiko yang utang dilakukan secara hati-hati untuk menjaga tingkat risiko yang terkendali.
"Adapun risiko pengelolaan utang mencakup risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, risiko refinancing dan risiko shortage pembiayaan," jelas pemerintah dalam dokumen KEM PPKF 2022, dikutip Jumat (13/8/2021).
Untuk diketahui, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut setara dengan 41,35% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Adapun komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun (12,86%) dan SBN sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14%).
Risiko Tingkat Bunga Utang
Risiko tingkat bunga atau interest rate risk adalah potensi penambahan beban anggaran akibat perubahan tingkat bunga di pasar yang berpotensi meningkatkan biaya pemenuhan kewajiban utang pemerintah.
Indikator risiko tingkat suku bunga diwakili oleh rasio variable rate (VR) atau rasio tingkat suku bunga mengambang.
Adapun tren rasio tingkat suku bunga menambang terus meningkat dari 10,57% pada 2017 menjadi 14,17% pada 2020 dan 12,74% pada Maret 2021.
"Kenaikan rasio VR pada tahun 2020 berasal dari penerbitan SUN Public Goods, penarikan pinjaman program untuk kebutuhan penanganan Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional," jelas pemerintah.
Kendati demikian, dalam jangka menengah, pemerintah memperkirakan rasionya akan terus menurun. Penurunan porsi VR ini dilakukan sebagai bentuk mitigasi risiko potensi terjadinya pembalikan tingkat suku bunga. Hal ini sejalan dengan perbaikan dan pemulihan perekonomian global.
Risiko Nilai Tukar
Risiko nilai tukar (exchange rate risk) adalah potensi peningkatan beban kewajiban pemerintah dalam memenuhi kewajiban utang akibat peningkatan kurs nilai tukar valuta asing terhadap mata uang rupiah.
Berdasarkan data historis, rasio nilai tukar mencapai 41,26% pada 2017 dan menurun hingga 32,83% pada Maret 2021.
"Penurunan ini terjadi seiring dengan konsistensi kebijakan pemerintah untuk mengoptimalkan penerbitan sumber utang dari domestik dan menggunakan sumber utang luar negeri sebagai pelengkap," jelas pemerintah.
Risiko Pembiayaan Kembali (Refinancing)
Risiko refinancing yang dimaksud adalah potensi tingginya biaya utang pada saat melakukan pembiayaan kembali atau tidak dapat melakukan pembiayaan kembali.
"Hal ini berdampak pada meningkatnya beban pemerintah atau mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan pembiayaan pemerintah," jelas pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah mengklaim telah meminimalkan risiko refinancing dengan membagi struktur jatuh tempo setiap tahunnya, untuk menghindari penumpukan jatuh tempo pada suatu periode tertentu.
Dalam KEM PPKF 2022, pemerintah menjelaskan bahwa dalam jangka menengah, risiko-risiko pengelolaan utang akan terus dijaga capaiannya agar mampu mencapai tujuan pengelolaan utang pada target biaya dan risiko yang optimal.
Caranya, dengan menjaga target risiko nilai tukar melalui rasio utang dalam mata uang asing terhadap total outstanding utang maksimal 35%.
Kemudian, risiko tingkat bunga (interest rate risk) melalui rasio utang dengan tingkat bunga tetap terhadap total outstanding utang minimal 80%.
Adapun dalam mengantisipasi risiko pembiayaan kembali (refinancing risk) beberapa upaya akan dilakukan pemerintah. Di antaranya rasio utang yang jatuh tempo dalam satu tahun terhadap total outstanding utang maksimal sebesar 12,5%.
Kemudian rata-rata jatuh tempo (average time to maturity) utang sebesar minimal 7 tahun.
"Memperhatikan risiko-risiko dimaksud, pengelolaan utang secara berkelanjutan dilakukan secara prudent dan dalam rangka mewujudkan ketahanan fiskal dan kesinambungan fiskal," jelas pemerintah.
Pada 2022, pemerintah akan menetapkan beberapa kebijakan pengelolaan utang prioritas. Kebijakan dan strategi yang ditempuh.
Pertama, mengutamakan sumber utang domestik untuk pengembangan pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid.
Kedua, mengelola risiko dan biaya utang secara prudent melalui pengendalian porsi penerbitan utang valas dalam rangka memitigasi risiko nilai tukar, prioritas penerbitan utang pada tingkat bunga tetap dan utang tenor menengah ke panjang (lengthening duration) dengan tetap memperhatikan cost efficiency.
Ketiga menjaga ketersediaan instrumen-instrumen benchmark, diverifikasi instrumen utang dan upaya mendorong likuiditas di pasar, dan memperluas basis investor.
Keempat, melakukan pengelolaan portofolio dengan memanfaatkan instrumen lindung nilai maupun mekanisme liabilities management lainnya.
Serta, kelima menjaga sustainabilitas fiskal dengan cara menjaga level aman rasio debt to GDP di bawah 60% sesuai UU Keuangan Negara dan mengupayakan penurunan dalam jangka menengah.