Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping terlihat mulai mempertahankan eksistensinya di Afghanistan setelah terjadi pertemuan penting pada Rabu 28 Juli lalu antara Kementerian Luar Negeri China dengan delegasi Taliban.
Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni yang efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001. Kelompok ini dibentuk sejak September 1994 dan mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS) dan Pakistan, kini China.
Dilaporkan Reuters, China mengatakan kepada delegasi Taliban yang berkunjung pada Rabu itu bahwa mereka berharap kelompok tersebut dapat memainkan peran penting dalam mengakhiri perang Afghanistan dan membangun kembali negara itu dari kekacauan.
Seorang juru bicara Taliban mengatakan, ada sembilan perwakilan Taliban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Wang Yi di Kota Tianjin di China utara dalam kunjungan 2 hari. Mereka membahas proses perdamaian dan masalah keamanan.
Menurut laporan pertemuan dari Kementerian Luar Negeri China, Wang mengatakan Taliban diharapkan dapat memainkan peran penting dalam proses rekonsiliasi damai dan rekonstruksi di Afghanistan.
Wang juga mengatakan bahwa China berharap Taliban akan menindak Gerakan Islam Turkestan Timur karena itu dianggap menjadi "ancaman langsung terhadap keamanan nasional China."
Kelompok yang dimaksud mengacu gerakan yang disebut China aktif di wilayah Xinjiang di barat jauh China. Gerakan Islam Turkestan Timur, atau Partai Islam Turkistan (PIT), alias Gerakan Islam Turkistan (GIT/ETIM/East Turkestan Islamic Movement), biasa dikenal sebagai organisasi separatis yang dibentuk oleh para militan Uighur di barat Tiongkok.
Pertemuan Taliban-China itu kemungkinan akan semakin memperkuat pengakuan kelompok pemberontak di panggung internasional pada waktu yang sensitif, bahkan ketika kekerasan meningkat di Afghanistan.
Dilaporkan Anadolu Agency, kantor berita Turki, dalam kesempatan itu, Wang Yi ternyata juga menyerang AS dengan menyebut penarikan pasukan AS dan NATO dari Afghanistan menunjukkan kegagalan kebijakan AS terhadap Afghanistan.
Pengamat isu-isu internasional dan Timur Tengah, Pizaro Gozali Idrus, dalam opininya di kantor berita Turki itu mengatakan bahwa banyak warga Afganistan optimistis meningkatnya hubungan diplomatik dan ekonomi dengan China akan membawa perdamaian di negara yang dikoyak perang itu.
"Taliban pun tahu bahwa ini murni sebagai pendekatan strategis untuk mendapatkan dukungan dari global power untuk merintangi kekuasaan AS. Pertemuan intens Taliban-China ini bisa dikatakan menjadi sejarah bagi diplomasi negara Tirai Bambu," kata alumnus diplomasi internasional Universitas Paramadina dan UIN Jakarta ini, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (11/8).
Dia menilai, meskipun China berbagi perbatasan sepanjang 76 km dengan Afghanistan, hubungan dengan Kabul tidak pernah setinggi ini sampai AS membentuk kehadiran militer di sana setelah serangan 11 September 2001.
"Bahkan setelah itu, China terus menghindari keterlibatan besar dalam urusan Afghanistan untuk waktu yang lama," tegas Pizaro.
Namun, ketika mantan Presiden AS Barack Obama memutuskan untuk menarik pasukan dari Afghanistan pada 2011, Beijing mulai meningkatkan keterlibatannya dengan Kabul.
Setelah itu, China mulai memfasilitasi rekonsiliasi antara pemerintah Afghanistan dan Taliban. China juga menjadi tuan rumah Proses Istanbul di Beijing pada Oktober 2014.
NEXT: Lalu Apa Tujuan China?
Lantas apa sebetulnya niat pemerintahan Xi Jinping di Afghanistan? Pizaro memandang, di balik "permukaan", kepentingan China untuk terlibat dalam upaya resolusi konflik ini faktor ekonomi.
Afghanistan memiliki cadangan sumber daya alam terbesar di dunia yang belum dieksploitasi seperti tembaga, batu bara, kobalt, merkuri, emas, dan lithium, senilai lebih dari US$ 1 triliun.
Selain itu, kata Pizaro, China saat ini juga merupakan investor asing terbesar di negara tersebut bersaing dengan India. Oleh karena itu, stabilitas Afganistan adalah kunci keberhasilan proyek-proyek utama China di Asia Selatan dan Tengah.
"Koridor Ekonomi China-Pakistan adalah proyek unggulan China di kawasan itu dan kedua negara ingin melibatkan Afghanistan melalui jalur jalan raya dan kereta api. Oleh karena itu, China bersama Pakistan menekan koridor ekonomi (CPEC) yang merupakan bagian dari Belt Road Iniative (BRI). Inisiatif ini dibentuk sejak tahun 2013," jelasnya.
Di sisi lain, katanya, CPEC tidak hanya akan menguntungkan China dan Pakistan tetapi akan berdampak positif juga bagi Afghanistan, dan kawasan.
China juga berkepentingan menggandeng Pakistan minimal pada dua hal, yakni merintangi manuver ekonomi India di kawasan dan memastikan Taliban Pakistan tidak menyerang proyek CPEC.
Pakistan adalah sekutu China yang paling kuat dan China akan sangat bergantung pada Pakistan untuk memastikan proyek-proyeknya di Afghanistan dan secara regional aman.
"Itu sebabnya China telah menekan Pakistan untuk meyakinkan Taliban untuk lebih fleksibel, seperti yang dimanifestasikan oleh saran Wang bahwa China dan Pakistan harus terus memperkuat strategi koordinasi untuk memberikan pengaruh yang lebih positif pada proses perdamaian di Afghanistan," jelasnya.
Mengunci India
Menurut Pizaro, deal yang disepakati China dan Pakistan bernilai US$ 46 miliar atau setara dengan Rp 667 triliun (kurs Rp 14.500/US$) atau setara dengan 20% dari PDB Pakistan.
Oleh karena itu, alih-alih menjadi konflik antara Taliban dan Afghanistan an sich, situasi di negara Asia Tengah itu telah berubah menjadi pertarungan kawasan dengan melibatkan aliansi Rusia-China dan AS-India.
"Kepentingan geopolitik inilah yang menjadi faktor kedua masuknya China ke Afghanistan. Jika Afghanistan tidak stabil, kondisi ini berimbas kepada koridor Belt Road Iniative yang membuka peluang bagi India untuk menguasai kawasan."
Dengan demikian, katanya, ikhtiar minimal China adalah jangan sampai instabilitas Afghanistan membuka celah masuknya pesaing utama di kawasan.
Menurut catatannya, sejak invasi AS pada 2001, India mencoba menanamkan pengaruh di Afghanistan. Sejauh ini New Delhi sudah mengucurkan dana bantuan rekonstruksi senilai US$3 miliar atau setara Rp 45 triliun yang merupakan terbesar di kawasan.
Pada November 2020, India mengumumkan 150 proyek baru senilai USD 80 juta atau setara Rp 1,16 triliun di Afghanistan.
Bahkan sebelum berkuasa, para penguasa saat ini dan para penguasa di Kabul memiliki hubungan kuat dengan India.
Baik itu Presiden Ashraf Ghani, mantan kepala eksekutif Abdullah Abdullah, atau mantan presiden Hamid Karzai, semua telah tinggal di India selama bertahun-tahun di beberapa titik dalam kehidupan mereka.
"Di sinilah kemudian, India masuk untuk turut melakukan negosiasi dengan berbagai pihak, termasuk Taliban," jelasnya.
Dengan militer AS dan NATO dalam tahap akhir menarik pasukannya pada 11 September, India bersiap untuk masa-masa yang penuh gejolak. Ongkos mahal yang sudah dikeluarkan India tidak akan mereka biarkan begitu saja untuk membiarkan aliansi China-Pakistan menguasai Afghanistan."
NEXT: Faktor Ketiga Kenapa China Masuk
Menurut Pizaro, faktor ketiga niat China di Afghanistan adalah mengelola keamanan di kawasan.
Bagi China, Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM, East Turkestan Islamic Movement), yang didirikan di Pakistan tahun 1997, merupakan ancaman bagi negaranya dan telah ditetapkan China sebagai kelompok "teroris". Hal inilah yang membuat Beijing sangat murka saat Washington menghapus ETIM dari daftar kelompok teror.
Sebaliknya, penghapusan ETIM dari daftar teroris oleh disambut duka cita oleh komunitas Uyghur.
"Mereka mengatakan langkah yang diambil pemerintah Amerika pada November lalu itu membantu kelompok minoritas agama untuk dapat memperjuangkan hak-hak secara lebih efektif," katanya.
Menurut laporan Dewan Keamanan PBB baru-baru ini, ETIM memiliki sekitar 500 pejuang di Afghanistan utara, sebagian besar terletak di provinsi Badakhshan, yang berbatasan dengan Xinjiang di China melalui Koridor Wakhan.
Sebagian besar Badakhshan sekarang berada di bawah kendali Taliban.
Taliban secara tradisional memiliki hubungan dekat dengan ETIM dan tidak mengizinkan kelompok manapun menjadikan Afghanistan untuk menyerang negara lain.
"Terlepas dari pembahasan di atas, situasi di Afghanistan sangat kompleks. Perubahan eskalasi politik bisa sangat berpengaruh terhadap situasi di lapangan," kata Pizaro.
Sebagaimana dikatakan juru bicara Taliban Mohammad Naeem kepada Anadolu Agency terkait perjanjian dengan AS, "jika salah satu pihak tidak mematuhi kewajibannya, itu berarti melanggar perjanjian itu sendiri, dan begitulah syaratnya."
"Pesan tersebut juga dapat berlaku kepada China," kata Pizaro.