Holding Panas Bumi: Demi Listrik Murah atau Kejar Cuan?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
02 August 2021 16:14
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). (Dok. PGE)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak seperti energi angin dan surya yang labil mengikuti cuaca (intermittent), panas bumi adalah energi terbarukan yang berpotensi menjadi tulang punggung atau penopang beban dasar (baseload) pasokan listrik. Awas, itu semua bisa jadi percuma jika salah desain holding!

Sebagaimana diketahui, pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN di bawah Erick Thohir tengah giat-giatnya melakukan program holdingisasi. Ibarat kata, apa saja dibikin holding, agar menciptakan efisiensi dan memperkuat daya saing BUMN di sektor tersebut.

Ada holding BUMN tambang, holding farmasi, semen, perkebunan, pupuk, bank syariah, hingga pangan. Terbaru, jagad pemberitaan nasional ramai dengan pembentukan holding panas bumi, guna mengoptimalkan potensi energi panas bumi Indonesia.

Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menyebutkan anak usaha Pertamina yakni PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan menjadi induk di "Holding Geothermal Indonesia (HGI)."

PGE akan membawahi BUMN lain yang juga menggarap dan memiliki aset Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), di antaranya PT Geo Dipa Energi (Persero) dan dua anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yakni PT Indonesia Power serta PT PLN Gas dan Geothermal.

Beberapa waktu lalu Serikat Pekerja (SP) PLN, organisasi pekerja Indonesia Power dan Pembangkit Jawa Bali (PJB) mengeluarkan pernyataan sikap, menyatakan penolakan atas wacana penunjukan anak usaha Pertamina tersebut sebagai induk holding panas bumi.

Pasalnya, menurut mereka, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang-berdasarkan judicial review Mahkamah Konstitusi (MK)-menegaskan bahwa usaha kelistrikan jadi tanggung-jawab BUMN. Semangatnya adalah anti-swastanisasi.

Filosofinya adalah tidak ada swastanisasi atau komersialisasi listrik. Oleh karenanya, mereka memprotes rencana penunjukan PGE sebagai holding, mengingat masih ada PLN sebagai BUMN yang punya keahlian di bidang kelistrikan dan mengawal filosofi ánti-komersialisasi.

Menghadapi itu, Public Relation Manager PGE Sentot Yulianugroho pun angkat suara. Dikutip CNN Indonesia, dia menyatakan bahwa panas bumi diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, dan bukan UU Ketenagalistrikan. Dus, menurut dia tak ada yang dilanggar.

Kepada CNBC Indonesia, Senin (02/08/2021), Sentot menjelaskan bahwa proyek pembangkit listrik panas bumi ini agak berbeda dengan sistem pembangkit listrik lainnya, karena dibutuhkan keahlian khusus, terutama dalam hal pengeboran. Pasalnya, untuk mengeluarkan uap panas bumi, maka harus dilakukan kegiatan hulu, mulai dari survei, eksplorasi, pengeboran, manajemen reservoir hingga pemeliharaan lapangan uap panas bumi.

"Kapabilitas khas tersebut sangat mirip dengan kegiatan dan kapabilitas hulu migas, dan PGE mempunyai kapabilitas tersebut yang didukung oleh ekosistem center of excellence kegiatan hulu, baik operasi maupun dukungan riset teknis, di Pertamina," jelasnya.

Sementara itu, PLN bersikap selow dengan menyatakan siap mendukung program pemerintah mengembangkan energi panas bumi, dan berharap holding nantinya membentuk ekosistem bisnis yang efektif, efisien dan memberikan nilai tambah bagi seluruh BUMN yang terlibat.

"Dan yang terpenting, pembentukan holding harus memberikan manfaat yang terbaik untuk bangsa Indonesia dengan menghasilkan tarif listrik yang terjangkau," tulis perseroan dalam keterangan resminya, mengingatkan siapapun yang berada di balik program holdingisasi ini.

Holding seperti apa yang bakal menciptakan efisiensi pengelolaan listrik? Berikut ulasannya.

Selanjutnya >>>>>>>>> Holding dan Problem Utama Panas Bumi

Berdiri di atas cincin api, Indonesia diberkahi dengan panas bumi. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya PLTP republik ini mencapai 23.965,5 megawatt (MW) atau terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat (AS) sebanyak 30.000 MW.

Ironisnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia baru 2.130,7 MW (2020) atau hanya 8,9% dari sumber daya yang ada. Bila PLTP yang sedang dibangun (berkapasitas total 196 MW) tuntas tahun ini, maka kapasitas terpasang PLTP bakal menjadi 2.326,7 MW atau hanya naik ke 9,7%.

Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah yang dipatok dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mengenai tambahan sekitar 1.000 MW PLTP dari 2018 ke 2021. Mengacu pada RUEN, semestinya kapasitas PLTP tahun ini adalah 3.109,5 MW.

Lalu apa sebenarnya yang mengganjal pengembangan proyek PLTP di Indonesia? Mengutip Rencana Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM (2020-2024), ada lima perkara di mana empat di antaranya terkait dengan sifat alamiah sumber daya panas bumi.

Karena kebanyakan wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi berada di hutan konservasi, proses perizinan menjadi kendala pertama, diikuti tingginya risiko dan biaya infrastruktur karena pengembang harus "babat hutan" membangun mulai dari jalan, air, hingga transmisi listrik.

Keempat, terpencilnya lokasi WKP berujung pada ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat (yang jauh dari pusat industri) dan pasokan yang ada. Kelima, rendahnya daya beli masyarakat membuat biaya investasi besar tersebut tak bisa langsung dibebankan ke pelanggan.

Pada akhirnya, mengutip Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi, harga menjadi masalah utama pengembangan PLTPdi Tanah Air. Saat ini, ada perdebatan soal bisa-tidaknya seluruh risiko dan biaya eksplorasi dimasukkan ke dalam komponen pembentuk harga.

"Dari segi pengembangan, kita berbenah mencari solusinya. Masalah utama adalah harga," paparnya kepada CNBC Indonesia, pada Senin (1/3/2021). Harap dicatat, biaya awal (eksplorasi) menyumbang 50% dari total biaya yang dikeluarkan pengembang PLTP.

Jika pemerintah ingin mengatasi persoalan utama di PLTP soal harga dengan holding, maka harus dipastikan bahwa holding ditentukan dengan mempertimbangkan aspek ini terlebih dahulu, di atas aspek lainnya seperti total aset, kas, atau cadangan sumber daya.

Dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat akan listrik, kekuatan aset, dana dlsb bukan hal penting jika akhirnya itu semua berujung pada harga listrik yang mahal. Holding panas bumi harus disusun dengan struktur korporasi yang memiliki expertise eksplorasi, efisien dalam operasi, dan kompetitif dalam penentuan harga (pricing).

Selanjutnya >>>>>>>> Dua Kutub Pembentuk Harga dan Efisiensi

Tidak dapat dipungkiri, listrik saat ini sudah naik kelas, bukan lagi menjadi kebutuhan sekunder manusia, melainkan kebutuhan primer. Energi tersebut menjadi penunjang semua aktivitas dasar masyarakat di tengah makin luasnya jaringan kelistrikan dan pola hidup modern.

Inilah yang mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) dalam judicial review UU Ketenagalistrikan pada 2016 memutuskan bahwa pemenuhan kebutuhan listrik rakyat (kepentingan umum) tidak boleh diambil-alih swasta. Dari sisi konsekuensi, hanya BUMN/BUMD yang bisa menjalankan tugas itu. Dari sisi filosofi, tak boleh ada komersialiasi layanan listrik bagi rakyat.

Sebagaimana dipahami, dalam pengadaan listrik ada dua kutub pembentuk harga, yakni pemasok listrik yakni pengembang PLTP (independent power producer/IPP) dan pihak penyerap (PLN). Jika ingin asal bangun ribuan megawatt PLTP, maka tak perlu ada holding. Bebaskan saja pajak, longgarkan izin WKP, dan beli listriknya di harga berapapun. Swasta pasti berlomba menggarap.

Holding panas bumi tak boleh meninggalkan filosofi di balik UU ketenagalistrikan: listrik yang terjangkau bagi rakyat. Dalam tarik-ulur posisi sebagai holding, dua kutub pembentuk harga itulah yang akan menentukan misi panas bumi ke depan: mendulang laba sebesar-besarnya, atau meciptakan tarif listrik kompetitif-tak terlalu mahal, tapi juga tak mencekik pengembang.

Jika bicara tarif, maka kita harus memperhatikan pos mana yang berpeluang menjadi wilayah panas dalam penentuan harga jual listrik tinggi PLTP. Mengacu pada API, jawabannya ada pada wilayah eksplorasi yang menyumbang 50% biaya dalam komponen pembentuk harga.

Seandainya holding dipegang pihak IPP (dalam konteks ini PGE), maka logika cost-benefit dalam pembentukan harga akan mengikuti perspektif mereka selaku pengembang. Kalau bisa, harga jual setinggi mungkin dengan margin keuntungan besar agar dana hasil penjualan listrik cukup untuk membiayai ekspansi selanjutnya.

Namun jika holding dipegang pihak off-taker alias penyerap listrik (PLN), perspektif pembeli yang akan lebih mendominasi pembentukan harga. Harga jual sebisa mungkin murah agar konsumen tak terbebani. Anak usaha pun akan dipaksa efisien dalam operasi, meski bisa berkonsekuensi pada kurang lincahnya eksplorasi.

Ada solusi ketiga jika ingin tarif listrik panas bumi murah tetapi tetap memberikan hasil investasi yang berlimpah bagi IPP, yakni subsidi. Namun mohon maaf, jika opsi subsidi diambil, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pusing tujuh keliling karena pendapatan negara yang sedang tertekan memaksa subsidi listrik terus dikepras dari tahun ke tahun.

Sebaliknya, jika PLN dipaksa membeli listrik dengan harga yang tinggi, maka siap-siap saja Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik akan meningkat,sehingga berakibat pada naiknya tarif listrik untuk pelanggan non-subsidi. Siapa yang kena? Kita-kita. Jadi, mohon lebih cermat, Pak Erick!

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular