
Holding Panas Bumi: Demi Listrik Murah atau Kejar Cuan?

Berdiri di atas cincin api, Indonesia diberkahi dengan panas bumi. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya PLTP republik ini mencapai 23.965,5 megawatt (MW) atau terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat (AS) sebanyak 30.000 MW.
Ironisnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia baru 2.130,7 MW (2020) atau hanya 8,9% dari sumber daya yang ada. Bila PLTP yang sedang dibangun (berkapasitas total 196 MW) tuntas tahun ini, maka kapasitas terpasang PLTP bakal menjadi 2.326,7 MW atau hanya naik ke 9,7%.
Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah yang dipatok dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mengenai tambahan sekitar 1.000 MW PLTP dari 2018 ke 2021. Mengacu pada RUEN, semestinya kapasitas PLTP tahun ini adalah 3.109,5 MW.
Lalu apa sebenarnya yang mengganjal pengembangan proyek PLTP di Indonesia? Mengutip Rencana Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM (2020-2024), ada lima perkara di mana empat di antaranya terkait dengan sifat alamiah sumber daya panas bumi.
Karena kebanyakan wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi berada di hutan konservasi, proses perizinan menjadi kendala pertama, diikuti tingginya risiko dan biaya infrastruktur karena pengembang harus "babat hutan" membangun mulai dari jalan, air, hingga transmisi listrik.
Keempat, terpencilnya lokasi WKP berujung pada ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat (yang jauh dari pusat industri) dan pasokan yang ada. Kelima, rendahnya daya beli masyarakat membuat biaya investasi besar tersebut tak bisa langsung dibebankan ke pelanggan.
Pada akhirnya, mengutip Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi, harga menjadi masalah utama pengembangan PLTPdi Tanah Air. Saat ini, ada perdebatan soal bisa-tidaknya seluruh risiko dan biaya eksplorasi dimasukkan ke dalam komponen pembentuk harga.
"Dari segi pengembangan, kita berbenah mencari solusinya. Masalah utama adalah harga," paparnya kepada CNBC Indonesia, pada Senin (1/3/2021). Harap dicatat, biaya awal (eksplorasi) menyumbang 50% dari total biaya yang dikeluarkan pengembang PLTP.
Jika pemerintah ingin mengatasi persoalan utama di PLTP soal harga dengan holding, maka harus dipastikan bahwa holding ditentukan dengan mempertimbangkan aspek ini terlebih dahulu, di atas aspek lainnya seperti total aset, kas, atau cadangan sumber daya.
Dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat akan listrik, kekuatan aset, dana dlsb bukan hal penting jika akhirnya itu semua berujung pada harga listrik yang mahal. Holding panas bumi harus disusun dengan struktur korporasi yang memiliki expertise eksplorasi, efisien dalam operasi, dan kompetitif dalam penentuan harga (pricing).
Selanjutnya >>>>>>>> Dua Kutub Pembentuk Harga dan Efisiensi
(dob/dob)