
Holding Panas Bumi: Demi Listrik Murah atau Kejar Cuan?

Tidak dapat dipungkiri, listrik saat ini sudah naik kelas, bukan lagi menjadi kebutuhan sekunder manusia, melainkan kebutuhan primer. Energi tersebut menjadi penunjang semua aktivitas dasar masyarakat di tengah makin luasnya jaringan kelistrikan dan pola hidup modern.
Inilah yang mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) dalam judicial review UU Ketenagalistrikan pada 2016 memutuskan bahwa pemenuhan kebutuhan listrik rakyat (kepentingan umum) tidak boleh diambil-alih swasta. Dari sisi konsekuensi, hanya BUMN/BUMD yang bisa menjalankan tugas itu. Dari sisi filosofi, tak boleh ada komersialiasi layanan listrik bagi rakyat.
Sebagaimana dipahami, dalam pengadaan listrik ada dua kutub pembentuk harga, yakni pemasok listrik yakni pengembang PLTP (independent power producer/IPP) dan pihak penyerap (PLN). Jika ingin asal bangun ribuan megawatt PLTP, maka tak perlu ada holding. Bebaskan saja pajak, longgarkan izin WKP, dan beli listriknya di harga berapapun. Swasta pasti berlomba menggarap.
Holding panas bumi tak boleh meninggalkan filosofi di balik UU ketenagalistrikan: listrik yang terjangkau bagi rakyat. Dalam tarik-ulur posisi sebagai holding, dua kutub pembentuk harga itulah yang akan menentukan misi panas bumi ke depan: mendulang laba sebesar-besarnya, atau meciptakan tarif listrik kompetitif-tak terlalu mahal, tapi juga tak mencekik pengembang.
Jika bicara tarif, maka kita harus memperhatikan pos mana yang berpeluang menjadi wilayah panas dalam penentuan harga jual listrik tinggi PLTP. Mengacu pada API, jawabannya ada pada wilayah eksplorasi yang menyumbang 50% biaya dalam komponen pembentuk harga.
Seandainya holding dipegang pihak IPP (dalam konteks ini PGE), maka logika cost-benefit dalam pembentukan harga akan mengikuti perspektif mereka selaku pengembang. Kalau bisa, harga jual setinggi mungkin dengan margin keuntungan besar agar dana hasil penjualan listrik cukup untuk membiayai ekspansi selanjutnya.
Namun jika holding dipegang pihak off-taker alias penyerap listrik (PLN), perspektif pembeli yang akan lebih mendominasi pembentukan harga. Harga jual sebisa mungkin murah agar konsumen tak terbebani. Anak usaha pun akan dipaksa efisien dalam operasi, meski bisa berkonsekuensi pada kurang lincahnya eksplorasi.
Ada solusi ketiga jika ingin tarif listrik panas bumi murah tetapi tetap memberikan hasil investasi yang berlimpah bagi IPP, yakni subsidi. Namun mohon maaf, jika opsi subsidi diambil, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pusing tujuh keliling karena pendapatan negara yang sedang tertekan memaksa subsidi listrik terus dikepras dari tahun ke tahun.
Sebaliknya, jika PLN dipaksa membeli listrik dengan harga yang tinggi, maka siap-siap saja Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik akan meningkat,sehingga berakibat pada naiknya tarif listrik untuk pelanggan non-subsidi. Siapa yang kena? Kita-kita. Jadi, mohon lebih cermat, Pak Erick!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dob/dob)[Gambas:Video CNBC]