
Awas! Sektor Andalan RI Jadi Korban Utama Perubahan Iklim

Seiring dengan kenaikan suhu bumi, wilayah pertanian dan perkebunan di seluruh dunia akan terkena imbasnya secara langsung. Pasalnya, kenaikan suhu 1 derajat Celsius saja bisa memicu volatilitas cuaca ekstrim yang merusak kualitas dan kuantitas panen.
Dalam laporan yang dirilis pada tahun 2014, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) mengingatkan bahwa produksi makanan dunia berisiko terpukul akibat kekeringan, banjir, dan perubahan cuaca secara ekstrim.
"Hasil panen bisa turun 2% tiap 10 tahun hingga berabad-abad ke depan. Sektor perikanan juga akan terdampak dengan perubahan keseimbangan kadar kimia di samudera. Beberapa ikan di daerah tropis akan langka. Spesies lainnya di belahan bumi Utara segera menyusul," tulis IPCC.
Imbasnya, harga makanan bisa melonjak antara 3%-84% pada 2050.
"Kenaikan panen dibutuhkan untuk memenuhi kenaikan permintaan, tetapi perubahan iklim menurunkan tingkat panen," tutur Michael Oppenheimer, penyusun laporan IPCC tersebut.
Hal ini menjadi persoalan serius bagi dunia, karena 30% populasi di bumi ini bekerja di sektor pertanian jika mengacu pada data Bank Dunia per 2020. Di Indonesia, sektor pertanian (termasuk di dalamnya perkebunan, perikanan dan kehutanan) juga menjadi mata pencaharian utama, dengan menyerap 38,78 juta jiwa, atau 29,6% penduduk Indonesia yang bekerja.
Harap dicatat, sektor pertanian merupakan penyumbang devisa utama nasional, berupa ekspor komoditas minyak sawit, karet, kokoa, hingga rumput laut. Ekspor minyak dan lemak nabati (termasuk sawit) mencetak kontribusi ekspor terbesar setiap tahunnya, antara 13%-15%, disusul bahan bakar mineral (batu bara dkk) sebesar 10%-11% per tahun.
Sektor pertambangan batu bara pun rentan risiko cuaca ekstrim, karena aktivitas penambangan terganggu ketika terjadi curah hujan ekstrim. Jika dampak perubahan iklim menghantam kedua sektor tersebut secara bersamaan, maka terpukullah pemasukan devisa kita mengingat kombinasi sawit dan batu bara menyumbang 20%-25% ekspor nasional.
Jika seperempat pemasukan devisa terganggu karena anjloknya panen dan produksi batu bara, pemerintah bakal menghadapi problem fiskal yang bakal berujung pada kenaikan utang baru, yang pada gilirannya kian membatasi kapasitas fiskal untuk membiayai program sosial-termasuk di dalamnya program pencegahan perubahan iklim.
Namun ironisnya, kedua sektor tersebut juga disinyalir menjadi pemicu perubahan iklim ketika tak dijalankan secara bertanggung-jawab. Pembukaan hutan gambut dan pembakaran lahan sawit memicu pelepasan gas rumah kaca ke atmosfir, demikian juga dengan penggunaan produk batu bara tak bersih (non-clean coal).
(ags/ags)