Jakarta, CNBC Indonesia - Isu perubahan iklim kian memanas setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan ancamannya yang tak kalah berbahaya dari Covid-19. Bagi Indonesia, dampak buruk perubahan iklim bisa memukul sektor-sektor andalan penopang ekonomi.
Isu tersebut semakin panas terutama setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menilai Indonesia termasuk paling rawan menjadi korban perubahan iklim, sehingga Jakarta bakal kehilangan mahkotanya sebagai Ibu kota.
"Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan Ibu Kotanya karena mereka akan berada di bawah air," kata Biden dalam pidato sambutan di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada Jumat (27/7/2021).
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani mengingatkan ancaman perubahan iklim tersebut terhadap ekonomi nasional dalam forum ESG (Environmental, Social, and Governance) Capital Market Summit, yang diinisiasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Selasa (24/7/2021).
Pembangunan yang terjadi di semua negara menciptakan kesejahteraan masyarakat, tetapi secara bersamaan berkonsekuensi pada mobilitas yang meninggi, penggunaan energi semakin besar, dan tekanan terhadap sumber daya alam.
Untuk itu, dia menilai Indonesia sebagai negara yang luas, padat penduduknya, dan ukuran ekonominya terbesar di Asia Tenggara, akan diperhitungkan dan dilihat partisipasinya dalam menangani risiko perubahan iklim ini, termasuk emisi karbon.
Ancaman serupa sebenarnya telah diingatkan lembaga pebisnis dan pengambil ekonomi dunia, World Economic Forum (WEF) awal tahun ini. Hasil survei yang diangkat di "The Global Risk Report 2021" memasukkan cuaca ekstrim ke dalam tiga risiko terbesar dalam persepsi pebisnis.
"Peralihan menuju ekonomi yang lebih hijau tak bisa menanti hingga tekanan pandemi usai. 'Kegagalan kebijakan iklim' menjadi risiko paling berdampak, dan juga risiko kedua yang paling mungkin terjadi menurut SPRG [Survei Persepsi Risiko Global]," tulis lembaga pimpinan Klaus Schawb tersebut dalam laporan yang dirilis 21 Januari 2021 lalu.
 Sumber: WEF |
Sebanyak 58% responden menilai pandemi bakal menjadi risiko utama yang paling mungkin terjadi, yang berdampak pada munculnya risiko lanjutan yakni 'krisis mata pencaharian.' Pembatasan aktivitas masyarakat memicu terhentinya sumber penghidupan jutaan orang.
Selanjutnya, 52,7% responden menilai cuaca ekstrim bakal menjadi risiko yang paling mungkin terjadi. Meski dari probabilitas berada di urutan kedua (setelah pandemi), tetapi risiko akibat perubahan iklim ini memiliki dampak terbesar bagi ekonomi dunia jika benar-benar terjadi.
Lalu sebesar apa dampak perubahan iklim terhadap perekonomian, dan sektor apa saja yang bakal terpukul? Berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia, dengan mengacu pada tinggi-rendahnya eksposur risiko perubahan iklim terhadap sektor atau industri di Indonesia.
Seiring dengan kenaikan suhu bumi, wilayah pertanian dan perkebunan di seluruh dunia akan terkena imbasnya secara langsung. Pasalnya, kenaikan suhu 1 derajat Celsius saja bisa memicu volatilitas cuaca ekstrim yang merusak kualitas dan kuantitas panen.
Dalam laporan yang dirilis pada tahun 2014, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) mengingatkan bahwa produksi makanan dunia berisiko terpukul akibat kekeringan, banjir, dan perubahan cuaca secara ekstrim.
"Hasil panen bisa turun 2% tiap 10 tahun hingga berabad-abad ke depan. Sektor perikanan juga akan terdampak dengan perubahan keseimbangan kadar kimia di samudera. Beberapa ikan di daerah tropis akan langka. Spesies lainnya di belahan bumi Utara segera menyusul," tulis IPCC.
Imbasnya, harga makanan bisa melonjak antara 3%-84% pada 2050.
"Kenaikan panen dibutuhkan untuk memenuhi kenaikan permintaan, tetapi perubahan iklim menurunkan tingkat panen," tutur Michael Oppenheimer, penyusun laporan IPCC tersebut.
Hal ini menjadi persoalan serius bagi dunia, karena 30% populasi di bumi ini bekerja di sektor pertanian jika mengacu pada data Bank Dunia per 2020. Di Indonesia, sektor pertanian (termasuk di dalamnya perkebunan, perikanan dan kehutanan) juga menjadi mata pencaharian utama, dengan menyerap 38,78 juta jiwa, atau 29,6% penduduk Indonesia yang bekerja.
Harap dicatat, sektor pertanian merupakan penyumbang devisa utama nasional, berupa ekspor komoditas minyak sawit, karet, kokoa, hingga rumput laut. Ekspor minyak dan lemak nabati (termasuk sawit) mencetak kontribusi ekspor terbesar setiap tahunnya, antara 13%-15%, disusul bahan bakar mineral (batu bara dkk) sebesar 10%-11% per tahun.
Sektor pertambangan batu bara pun rentan risiko cuaca ekstrim, karena aktivitas penambangan terganggu ketika terjadi curah hujan ekstrim. Jika dampak perubahan iklim menghantam kedua sektor tersebut secara bersamaan, maka terpukullah pemasukan devisa kita mengingat kombinasi sawit dan batu bara menyumbang 20%-25% ekspor nasional.
Jika seperempat pemasukan devisa terganggu karena anjloknya panen dan produksi batu bara, pemerintah bakal menghadapi problem fiskal yang bakal berujung pada kenaikan utang baru, yang pada gilirannya kian membatasi kapasitas fiskal untuk membiayai program sosial-termasuk di dalamnya program pencegahan perubahan iklim.
Namun ironisnya, kedua sektor tersebut juga disinyalir menjadi pemicu perubahan iklim ketika tak dijalankan secara bertanggung-jawab. Pembukaan hutan gambut dan pembakaran lahan sawit memicu pelepasan gas rumah kaca ke atmosfir, demikian juga dengan penggunaan produk batu bara tak bersih (non-clean coal).
Pukulan lain dari efek perubahan iklim dirasakan sektor keuangan. Kerusakan sektor pertanian dan perkebunan memicu badai kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di segmen kredit produktif kedua sektor, dan kredit konsumtif dari debitor yang bekerja di sektor tersebut.
Selain itu, perusahaan asuransi akan mengalami pukulan berat, yang jika tidak dimitigasi bisa memicu efek domino ke sektor keuangan dan pasar modal. Badai Sandy di Amerika Serikat (AS) pada 2012, misalnya, memicu kerugian ekonomi sebesar US$ 70 miliar lebih. Dari total kerugian tersebut, industri asuransi memberikan kompensasi sebesar US$ 26 miliar atau 37% di antaranya.
Di tengah lonjakan klaim, perusahaan asuransi akan kesulitan menutup beban pertanggungan dari premi, terutama ketika asuransi bencana belum diwajibkan. Sebagai gambaran, program asuransi banjir di AS hanya meraup premi US$ 3,6 miliar, sementara aset yang ditanggung mencapai US$ 1,25 triliun.
Menurut Munich Re, perubahan iklim memicu kenaikan kerugian ekonomi akibat bencana di seluruh dunia, dari rata-rata US$ 40 miliar per tahun (1990-2000), menjadi US$ 85 miliar per tahun (1990-2000), dan meningkat lagi menjadi US$ 100 miliar per tahun (2000-2010). Hingga 2018, angkanya naik lagi menjadi rata-rata US$140 miliar/tahun.
 Sumber: Geneva Risk and Insurance Review |
Jika dampak perubahan iklim terjadi di Indonesia, seperti banjir bandang di China dan Jerman baru-baru ini, pelaku usaha asuransi nasional dipastikan kelimpungan. Mereka membutuhkan dukungan besar dari reasuransi, dan dari lembaga keuangan seperti bank. Jika hal ini terjadi secara masif dan berkelanjutan, sektor keuangan pun akan terkena efek berantainya.
Laporan Komite Eropa, lembaga eksekutif Uni Eropa, sudah jauh-jauh hari mengingatkan itu. Dalam laporan berjudul "Using Insurance in Adaptation to Climate Change" (2018), mereka menyebutkan perubahan iklim berkonsekuensi meningkatnya cuaca ekstrim yang memicu banjir, kekeringan, gelombang hawa panas, dan badai.
"Hal tersebut memicu peningkatan beban belanja publik, perusahaan asuransi, dan mereka yang di pemerintahan untuk menyerap dampak negatif dari semua itu. Untuk mengatasi tantangan demikian, mekanisme asuransi dan yang serupa dengan itu bisa membuat masyarakat lebih kuat menghadapi dampak cuaca buruk," demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Sebagai sektor yang paling terdampak, pelaku industri keuangan memiliki andil memperluas pemahaman masyarakat akan bahaya perubahan iklim. Di samping menyadarkan pentingnya berasuransi guna mencegah dampak finansial perubahan iklim, mereka akan memberikan edukasi mengenai aktivitas berwawasan lingkungan agar risiko perubahan iklim tak terjadi.
Bagi pemerintah Indonesia, yang memiliki lahan hutan (penyerap karbon) terluas di kawasan, program diet emisi karbon dan energi bersih harus segera dijalankan dan aktivitas pembukaan lahan hutan harus disetop. Disinsentif harus diberikan bagi produk atau industri yang berpotensi merusak lingkungan, seperti misalnya pajak karbon atau bea plastik.
TIM RISET CNBC INDONESIA