Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia saat ini masih dicekam kekhawatiran dan disibukkan oleh penanganan pandemi Covid-19. Namun, banyak yang abai bahwa ada "pandemi" yang menjangkiti bumi dan memiliki efek mematikan bagi manusia seperti Covid-19, yakni perubahan iklim.
Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa ada ancaman lain yang saat ini mengancam warga negara seluruh dunia, yang dampaknya sama besarnya dengan pandemi Covid-19.
"Climate change adalah global disaster yang magnitude-nya diperkirakan akan sama seperti pandemi Covid-19," ujarnya dalam ESG (Environmental, Social, and Governance) Capital Market Summit.
Acara tersebut digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna memperingati diaktifkannya kembali pasar modal, bersama self regulatory organization (SRO) seperti PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kliring Penjamin Efek Indonesa (KPEI), dan PT Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI).
ESG adalah prinsip investasi yang tidak hanya mengejar keuntungan melainkan berusaha menciptakan nilai keberlanjutan dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik. Isu ini pertama kali diangkat dalam laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) berjudul "Principles for Responsible Investment (PRI)" yang dirilis pada 2006.
Menurut laporan BNP Paribas berjudul "ESG Global Survey 2019", mayoritas pengelola menyatakan akan meningkatkan alokasi dananya ke investasi berprinsip ESG. Hal ini meningkat dibandingkan dengan temuan survei pada tahun-tahun sebelumnya, yang menunjukkan kian tingginya kepedulian investor dengan isu lingkungan.
Dalam forum investasi mawas lingkungan tersebut, Sri Mulyani menyebutkan bahwa kesamaan bencana pandemi dan bencana perubahan iklim terletak pada dampaknya yang luas dan bisa menerpa seluruh negara, serta memicu kematian masif jika tidak ditangani dengan tepat.
Namun keduanya berbeda dalam hal mitigasi. Covid-19 muncul tanpa peringatan, tak ada yang bisa memprediksi pola dan alur penyebarannya. Sementara itu, perubahan iklim adalah ancaman yang sudah diprediksi dan diperingatkan oleh para ilmuwan di berbagai negara.
"Bahkan sama seperti pandemi, negara yang paling tidak siap dari sisi sistem kesehatannya, dari sisi kemampuan fiskalnya, dari sisi disiplinnya dan dari kemampuan untuk mendapatkan vaksin dan melakukan vaksinasi mereka mungkin akan terkena paling berat dampaknya," kata dia.
Sayangnya, aspek mitigasi ini belum terejawantah dalam perubahan kebiasaan kita. Jika warga dunia kini terbiasa dengan social distancing dan protokol kesehatan, maka perubahan iklim belum berujung pada perubahan kebiasaan pola konsumsi energi dan sumber daya lainnya.
Di satu sisi masyarakat belum terbiasa dengan diet emisi karbon, atau inisiatif untuk mengurangi aktivitas polusi, di sisi lain mayoritas negara di seluruh dunia belum melakukan perubahan kebijakan yang drastis untuk membuat aktivitas industri dan bisnis menjadi lebih ramah lingkungan.
Bagi Indonesia, desakan untuk melakukan kebijakan pencegahan pemanasan global tidak lagi bisa ditawar, terutama karena riset menunjukkan bahwa Republik ini ternyata terposisi sebagai negara yang paling rentan dengan efek perubahan iklim.
Dalam laporan berjudul "The Economics of Climate Change" yang dirilis April lalu, perusahaan reasuransi global Swiss Re Institute (SRI) memperkirakan bahwa ekonomi dunia berisiko kehilangan 18% kue ekonominya, akibat dampak perubahan iklim pada 2050 nanti.
Sebagai gambaran, Produk Domestik Bruto (PDB) dunia tahun lalu menurut data Statista nilainya mencapai US$ 84,5 triliun (Rp 1.222,1 triliun). Angka 18% tersebut setara dengan US$ 15,2 triliun yang artinya jika skenario tersebut terjadi pada tahun ini, setara dengan hilangnya PDB China (US$14,3 triliun) akibat efek bencana alam.
Dalam laporan tersebut, SRI melakukan uji tekanan (stress test) terhadap ekonomi dunia jika perubahan iklim berjalan tak terbendung. Hasilnya, mereka menemukan bahwa isu perubahan iklim bakal memukul 48 negara, yang mewakili 90% ekonomi dunia.
Ke-48 negara tersebut membentuk Indeks Ekonomi Iklim, yang menunjukkan negara yang ekonominya akan terpukul paling parah, wilayahnya paling terdampak, dan memiliki posisi terbaik untuk mengubah keadaan. Umumnya, mereka adalah negara bergaris pantai (kecuali Swiss) yang terkena dampak langsung kenaikan permukaan air laut.
Kabar buruknya, Indonesia berada di daftar tersebut dan jatuh di posisi terburuk dengan angka indeks 39,2. Indonesia kalah dari Malaysia (di posisi 47), Filipina (46), Thailand (44), dan Singapura (39) yang juga terdampak oleh isu perubahan iklim. Peringkat terbaik diduduki negara skandinavia yakni Finlandia dengan total indeks 11,3, diikuti Swiss dan Austria.
Secara umum, SRI menyebutkan situasi perubahan iklim seperti sekarang akan mempengaruhi ekonomi dunia dengan besaran antara 4-18% pada 2050. Pukulan terkecil, yakni 4% PDB dunia bakal terjadi jika target Kesepakatan Paris tercapai, yakni menurunkan suhu bumi sebesar 2 derajat celcius.
Sebaliknya, pukulan terbesar yakni 18% terjadi jika suhu bumi naik 3 derajat, alias tidak ada aksi nyata yang diambil. Asia diperkirakan menjadi yang terpukul paling utama, di mana China diprediksi kehilangan 24% PDB-nya jika skenario terburuk itu terjadi. Amerika Serikat (AS) menyusul dengan kehilangan 10% ekonominya, sementara Uni Eropa kehilangan 11% PDB.
"Risiko iklim mempengaruhi setiap masyarakat, setiap perusahaan, dan setiap orang. Mendekati 2050, populasi dunia akan tumbuh mendekati 10 miliar orang, terutama di kawasan yang paling terdampak perubahan iklim," tutur Thierry Léger, Group Chief Underwriting Officer dan Chairman Swiss Re Institute, dalam keterangan resminya.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus bertindak sekarang untuk memitigasi risiko perubahan iklim tersebut, dan untuk mencapai target emisi nol-bersih [net-zero] guna mengerem laju kenaikan suhu bumi. Catat: emisi nol bersih, dan bukannya emisi nol.
Ada salah kaprah yang seringkali berkembang terkait dengan strategi pengurangan dampak perubahan iklim, yakni mengenai emisi karbon gas rumah kaca (GRK), yakni karbon dioksida, metana, nitro oksida, dll. Banyak yang menganggap bahwa penurunan suhu dilakukan dengan melakukan program emisi nol (zero emission).
Jika itu yang ditempuh, maka manusia harus menghentikan segala aktivitasnya, karena pada dasarnya setiap aktivitas kita memiliki jejak karbon, mulai dari beternak, berkebun dengan pupuk buatan. Tak usah jauh-jauh, setiap hela nafas kita berujung pada emisi karbon (dioksida).
Oleh karenanya, target emisi nol jelas utopis alias tidak mungkin tercapai. Saat ini yang sedang didengungkan adalah program emisi nol bersih, di mana setiap aktivitas manusia yang memicu GRK harus diikuti dengan program penyerapan GRK secara proporsional.
Program ini dicanangkan dalam Panel Antar-pemerintah mengenai Perubahan Iklim (Inter-governmental Panel on Climate Change/IPCC) pada tahun 2013, atau 4 tahun sejak studi pertama membuktikan bahwa pemanasan global terutama dipicu oleh emisi CO2 di atmosfir.
Hal tersebut diungkap Myles Allen dkk dalam riset berjudul "Warming Caused by Cumulative Carbon Emissions towards The Trillionth Tonne" (2009). Swedia menjadi negara pertama yang menyikapi serius. Pada 2017, mereka mematok target emisi nol bersih, atau istilahnya 'netral-karbon' pada 2045.
Pada tahun lalu, China yang merupakan produsen terbesar GRK menyatakan akan mencapai posisi netral-karbon pada 2060. Amerika Serikat (AS) baru mengikuti langkah tersebut tahun ini, setelah presiden Joe Biden berkuasa. Posisi netral-karbon diharapkan dicapai pada tahun 2050.
Indonesia mengikuti China dengan membidik posisi netral-karbon tahun 2060. Hal ini tertuang dalam dokumen Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang disampaikan kepada United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC), sebagai bagian dari mandat Perjanjian Paris.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan akan menurunkan emisi GRK di lima sektor: energi, limbah, industri, pertanian dan kehutanan. Selain itu, dia berkomitmen meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial dan sumber penghidupan, serta ekosistem dan lanskap.
Terbaru, Sri Mulyani berencana menerapkan pajak karbon yang akan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha energi fosil baik minyak maupun batu bara. Secara bersamaan, pemanfaaatan energi baru dan terbarukan (EBT) juga terus dikembangkan.
Hanya saja, jika tidak hati-hati, Indonesia bisa terjebak pada dilema ongkos harga energi yang mahal, karena teknologi EBT sampai sekarang masih bergantung pada subsidi. Jangan sampai energi bersih berujung pada mahalnya listrik bagi rakyat.