Ini Saran Bos Star Energy Biar Harta Karun Energi RI Tergarap
Jakarta, CNBC Indonesia - RI dianugerahi harta karun energi baru rerbarukan (EBT) yang melimpah. Namun sayang pemanfaatannya masih sangat rendah.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari total potensi EBT 417,8 giga watt (GW), sampai 2020 baru dimanfaatkan sebesar 10,4 GW atau hanya 2,5% saja.
Hendra Soetjipto Tan, CEO Star Energy Geothermal Group, mengatakan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir yakni 2010-2020 ada beberapa negara yang sangat sukses menambah kapasitas energi baru terbarukan, antara lain negara-negara di Uni Eropa, India, China, dan Vietnam di Asia.
Dari negara-negara tersebut, energi terbarukan yang paling berkembang yaitu energi tenaga surya dan angin.
Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (Irena) atau Badan Energi Terbarukan Internasional Juni 2021, disebutkan bahwa levelized cost of energy (LCOE) atau ongkos energi EBT turun drastis, terutama untuk matahari dan angin.
Dalam kurun waktu 2010-2020 di seluruh dunia kapasitas pembangkit matahari naik dari 40.000 mega watt (MW) pada 2010 menjadi 707.000 MW pada 2020, atau ada penambahan 667.000 MW dalam 10 tahun.
Kemudian, untuk pembangkit listrik tenaga angin dari kapasitas terpasang 178.000 MW pada 2010, naik menjadi 698.000 MW pada 2020 atau ada kenaikan sekitar 521.000 MW dalam 10 tahun terakhir ini.
"Ada dua hal utama yang bisa kita contoh, pertama mereka mulai dari kebijaksanaan tepat dalam arti bisa percepat EBT dan juga yang gak kalah penting stimulasi, inovasi, atau teknologi di bidang EBT," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia Economic Update: Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Senin (19/07/2021).
Dia menjelaskan, bentuk kebijaksanaan yang diberikan bisa bermacam-macam, mulai dari tarif yang menarik, bisa juga memberikan subsidi tarif, dan tax holiday, serta kolaborasi dari kebijakan-kebijakan ini.
"Di bidang teknologi dan inovasi buat kami itu sangat penting bagi semua stakeholder, kita bisa terus mencari terobosan inovasi dan teknologi buat levelized cost of energy (LCOE) EBT bisa bersaing dengan fossil fuel dari base power plant," jelasnya.
Demi mencapai ini, menurutnya pola pikirnya perlu diubah, antara lain tidak perlu lagi berpikir berapa lama matahari bersinar, seberapa kencang angin bertiup, dan berapa mega watt (MW) yang dihasilkan dari pengeboran geothermal.
"Yang harus dipikirkan adalah bagaimana menghasilkan tenaga listrik banyak dari sumber listrik yang sama," tegasnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi energi samudera atau laut mencapai 17,9 Giga Watt (GW), namun pemanfaatannya masih 0%. Untuk potensi panas bumi masih 23,9 GW, namun pemanfaatannya baru 8,9%.
Kemudian, potensi bioenergi mencapai 32,6 GW, namun pemanfaatannya baru 5,8%. Sementara untuk EBT bersumber dari bayu atau angin, potensinya mencapai 60,6 GW, namun pemanfaatannya masih sangat minim sebesar 0,25%.
Selanjutnya, potensi hidro mencapai 75 GW, namun pemanfaatannya baru 8,16%. Dan sumber EBT terbesar di RI adalah energi surya atau matahari yang mencapai 207,8 GW, tapi pemanfaatannya masih sangat minim, yakni baru 0,07%.
Star Energy Geothermal, afiliasi PT Barito Pacific Tbk (BRPT), memiliki kapasitas terpasang PLTP saat ini sebesar 875 Mega Watt (MW) atau menguasai 41% dari total kapasitas terpasang PLTP di Indonesia yang mencapai 2.130,7 MW hingga akhir 2020.
Star Energy Geothermal pada 2017 mengakuisisi PLTP terbesar di Indonesia yang sebelumnya dikelola Chevron Geothermal senilai US$ 2,3 miliar, termasuk aset PLTP di Filipina.
Kedua PLTP di Indonesia yang diakuisisi itu yakni PLTP Darajat di Garut, Jawa Barat dan PLTP Salak, Sukabumi, Jawa Barat dengan total kapasitas produksi listrik 413 MW dan uap 235 MW.
Selain dua PLTP itu, Star Energy juga mengoperasikan PLTP Wayang Windu di Pangalengan, Jawa Barat dengan kapasitas 227 MW.
(wia)