
Bos Star Energy Beberkan Cara Turunkan Biaya Panas Bumi

Jakarta, CNBC Indonesia - Ongkos produksi listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT) panas bumi terhitung paling mahal jika dibandingkan dengan sumber EBT lainnya.
Hendra Soetjipto Tan, CEO Star Energy Geothermal Group, mengungkapkan beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menekan harga listrik panas bumi. Dia pun menjabarkan apa yang telah dilakukan perusahaan untuk menekan biaya panas bumi.
Dia menjelaskan, Star Energy Geothermal, afiliasi PT Barito Pacific Tbk (BRPT), secara intensif melakukan beberapa upaya agar harga panas bumi bisa ditekan. Misalnya, pada kuartal III ini pihaknya membuat peta permeabilitas dan sudah diaplikasikan di wilayah kerja panas bumi yang pihaknya kelola.
"Ini bisa turunkan ketidakpastian pengeboran dan tingkatkan uap yang ujungnya bisa turunkan biaya secara drastis," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia Economic Update: Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Senin (19/07/2021).
Selanjutnya, upaya yang dilakukan lainnya yakni menggunakan aplikasi teknologi terbaru, baik untuk proses dan teknik pengeboran.
"Ini bisa turunkan biaya sebesar 40%-50% dari sumur terdahulu, ini sangat signifikan," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, upaya lain yang dilakukan adalah dengan menciptakan teknik terbaru yang bisa meningkatkan produksi listrik panas bumi. Dengan adanya teknik terbaru, maka pihaknya berharap akan ada kenaikan produksi listrik 10%-15%.
"Bisa naikkan jumlah listrik 10%-15% dengan memakai sumber tenaga uap yang kami miliki sekarang tanpa biaya yang terlalu besar, turunkan levelized cost of energy (LCOE) ke depan," jelasnya.
Dia menjelaskan, dengan teknologi terbaru sekitar empat tahun ini EBITDA margin perusahaan terus mengalami peningkatan.
"EBITDA margin terus meningkat, kami terus memperbaiki EBITDA margin 4-5 tahun ini," lanjutnya.
Upaya terakhir yang dilakukan adalah terus mencari teknologi konversi. Nantinya teknologi konversi ini bisa digunakan untuk sumur-sumur yang idle (nganggur) di wilayah operasi Star Energy untuk menghasilkan listrik tambahan.
Menurutnya, ini sangat berguna di daerah sumber panas bumi di suhu yang medium atau menengah dan memiliki tekanan yang tidak terlalu tinggi.
"Dengan semua inovasi dan aplikasi ke depan, bisa sumbang sih ke Indonesia dan dunia turunkan LCOE panas bumi, sehingga suatu saat makin bisa bersaing dan tidak hanya dengan fosil tapi juga EBT lain," jelasnya.
Perlu diketahui, Star Energy Geothermal memiliki kapasitas terpasang PLTP saat ini sebesar 875 Mega Watt (MW) atau menguasai 41% dari total kapasitas terpasang PLTP di Indonesia yang mencapai 2.130,7 MW hingga akhir 2020.
Star Energy Geothermal pada 2017 mengakuisisi PLTP terbesar di Indonesia yang sebelumnya dikelola Chevron Geothermal senilai US$ 2,3 miliar, termasuk aset PLTP di Filipina.
Kedua PLTP di Indonesia yang diakuisisi itu yakni PLTP Darajat di Garut, Jawa Barat dan PLTP Salak, Sukabumi, Jawa Barat dengan total kapasitas produksi listrik 413 MW dan uap 235 MW.
Selain dua PLTP itu, Star Energy juga mengoperasikan PLTP Wayang Windu di Pangalengan, Jawa Barat dengan kapasitas 227 MW.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan pemilik "harta karun" energi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia sendiri memiliki potensi panas bumi hingga 23.965,5 Mega Watt (MW) hingga 2020. Namun, pemanfaatannya menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sampai 2020 baru mencapai 2.130,7 MW atau 8,9% dari potensi yang ada.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Punya Harta Karun Energi Terbesar ke-2 Dunia, Tapi RI Abaikan
