Listrik Panas Bumi Termahal di antara EBT, Kenapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) agar bisa mencapai bebas karbon pada 2060 mendatang. Beberapa EBT yang dimanfaatkan misalnya tenaga surya, angin, dan panas bumi.
Akan tetapi, khusus untuk panas bumi, harga listrik yang dihasilkan menjadi paling mahal jika dibandingkan dengan jenis EBT lainnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Hendra Soetjipto Tan, CEO Star Energy Geothermal Group.
Dia mengatakan, mahalnya harga energi dari pembangkit panas bumi diperoleh dari laporan International Renewable Energy Agency (Irena) atau Badan Energi Terbarukan Internasional. Disebutkan dalam laporan Juni 2021, levelized cost of energy (LCOE) atau ongkos energi EBT turun drastis, kecuali panas bumi.
"Dalam jangka waktu 2010-2020, LCOE solar (matahari) turun 85%, drastis, angin turun 56,2%, tapi LCOE panas bumi justru naik. Panas bumi jadi yang paling mahal dari EBT lainnya," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia Economic Update: Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Senin (19/07/2021).
Kondisi ini menjadi tantangan bagi Star Energy sebagai penghasil EBT panas bumi. Oleh karena itu, pihaknya terus mencari inovasi baru untuk mengembangkan panas bumi agar tidak hanya menjadi energi yang berkelanjutan, namun juga terjangkau dan bisa bersaing dengan energi terbarukan lainnya.
"Kami terus mencari inovasi baru kembangkan panas bumi, gak hanya sustain, tapi affordable, dan bisa bersaing dengan EBT lainnya. Termasuk fossil fuel dengan tetap jaga keekonomian," jelasnya.
Lebih lanjut dia pun membeberkan sejumlah penyebab dari mahalnya energi panas bumi dibandingkan dengan EBT lainnya. Pertama, menurutnya ini terjadi karena tidak semua negara punya sumber energi panas bumi. Kedua, dalam kurun waktu 2010-2020 penambahan kapasitas panas bumi hanya sedikit dibandingkan dengan EBT lainnya.
"Di dalam kurun 2010-2020 listrik tenaga surya dan angin naik masif, tapi gak ada pembangunan panas bumi yang masif. Perlu dilakukan terobosan inovasi dan teknologi baru turunkan LCOE panas bumi," tuturnya.
Dalam kurun waktu 2010-2020 di seluruh dunia kapasitas pembangkit matahari naik dari 40.000 mega watt (MW) pada 2010 menjadi 707.000 MW pada 2020, atau ada penambahan 667.000 MW dalam 10 tahun.
Kemudian, untuk pembangkit listrik tenaga angin dari kapasitas terpasang 178.000 MW pada 2010, naik menjadi 698.000 MW pada 2020 atau ada kenaikan sekitar 521.000 MW dalam 10 tahun terakhir ini.
"Sedangkan kapasitas panas bumi hanya naik dari 990 MW tahun 2010 menjadi 14.000 MW atau hanya 4.000 MW dalam 10 tahun," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia sendiri memiliki potensi panas bumi hingga 23.965,5 Mega Watt (MW) hingga 2020. Namun, pemanfaatannya menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sampai 2020 baru mencapai 2.130,7 MW atau 8,9% dari potensi yang ada.
Sumber daya panas bumi Indonesia merupakan terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat.
[Gambas:Video CNBC]
Ini Perbandingan Harga Listrik Panas Bumi vs Listrik BBM
(wia)