Akan tetapi, percepatan vaksinasi mungkin tidak menjadi jalan yang ampuh untuk mengekang pandemi. Hal ini terlihat dari data-data infeksi yang diberikan oleh enam negara dunia yang memiliki angka vaksinasi yang cepat namun kasus Covid-19 malah cenderung naik.
Enam negara itu adalah Uni Emirat Arab (UEA), Republik Seychelles, Mongolia, Uruguay, Chile, dan Inggris. Berikut penjelasan mengenai kenaikan kasus di enam negara itu mengutip CNBC International:
1. Uni Emirat Arab
Di UEA, pada awal kampanye vaksinasi, kasus telah turun dari rekor tertinggi yang dilaporkan pada bulan Januari. Namun, mulai Mei kasus naik ke level seribu perhari.
Saat ini, jumlah kasus naik menjadi sekitar 1.200 infeksi perhari. Mengutip Worldometers, Rabu (7/7/2021) ada 1.513 kasus harian baru dengan 19.966 total kasus aktif.
Otoritas Manajemen Bencana dan Krisis Darurat Nasional UEA pada bulan Mei lalu menawarkan dosis ketiga vaksin Sinopharm China. Hal ini muncul di tengah skeptisisme masyarakat tentang keampuhan vaksin itu setelah laporan re-infeksi pada pasien yang telah mendapatkan dua dosis penuh.
Negara itu kemudian mengatakan mereka yang diinokulasi dengan vaksin Sinopharm dapat menerima suntikan ketiga vaksin ketiga. Namun booster yang disuntik adalah vaksin Pfizer/BioNTech.
2. Seychelles
Di Seychelles, sekitar 72% populasi telah mendapatkan setidaknya satu dosis vaksin per 19 Mei. Sementara, lebih dari 60% warganya telah divaksinasi secara penuh sejak program vaksinasi diluncurkan pada Januari menurut Our World in Data.
Namun kasus Covid-19 di negara di Samudera Hindia itu masih menanjak terus. Bahkan dilaporkan 37% dari total jumlah kasus tambahan disumbang oleh warga yang telah divaksin.
Diketahui dalam vaksinnya negara itu menggunakan vaksin Sinopharm dan AstraZeneca.
3. Chile
Dengan tingkat vaksinasi masing-masing mencapai 67,3%, negara yang memanjang di ujung Amerika Selatan itu masih melaporkan kenaikan kasus yang cukup tinggi. Bahkan di April lalu jumlah infeksi di Chile sempat mencapai angka 9 ribu per hari.
Dalam program vaksinnya, Chile menggunakan vaksin Sinovac dan Pfizer/BioNTech.
4. Uruguay
Uruguay juga merasakan hal yang cukup senasib dengan Chile. Meski telah menyuntikkan vaksin ke 66,5% warga dengan vaksin Sinovac dan Pfizer/BioNTech, tetap saja negara yang berada di antara Brasil dan Argentina itu menemukan beberapa kasus corona yang signifikan. Hingga saat ini sekitar 700an infeksi Covid-19 masih terjadi setiap harinya.
5. Mongolia
Di Asia, Mongolia juga melaporkan kenaikan kasus yang cukup tinggi. Beberapa pekan terakhir negara itu mencatatkan penambahan harian diatas level 2 ribu kasus.
Penambahan ini terjadi saat negara daratan itu telah memberikan setidaknya satu dosis vaksin ke 63% warganya. BahkanKantor berita milik negara Mongolia Montsame melaporkan pada bulan Mei bahwa negara tersebut telah menerima 2,3 juta dosis vaksin oleh Sinopharm. Itu jauh melebihi 80.000 dosis Sputnik V Rusia dan sekitar 255.000 dosis suntikan Pfizer-BioNTech yang diterima Mongolia pada minggu lalu.
6. Inggris
Inggris juga merupakan negara yang melaporkan lonjakkan kasus baru yang cukup tinggi dalam beberapa hari terakhir. Pada Rabu (7/7/2021), Negeri Ratu Elizabeth melaporkan lonjakkan kasus harian sebanyak 32.548 infeksi baru.
Hal ini terjadi disaat negara itu sudah memberikan setidaknya satu dosis vaksin ke 66% warganya. Sejauh ini vaksin yang telah disetujui penggunaanya di Inggris adalah Moderna, AstraZeneca-Oxford, Pfizer-BioNTech dan Janssen.
Kenaikan ini membuat Perdana Menteri (PM) Boris Johnson akhirnya mengambil langkah untuk memperpanjang lockdown nasional hingga 19 Juli mendatang.
Mantan Walikota London itu menyebut bahwa saat iniInggriscukup kewalahan dalam melawan varian Delta yang menyebar secara masif. Varian yang awalnya timbul di India itu juga dianggap lebih berbahaya.
"Sekarang kita tidak tahu sejauh mana tepatnya akan menyebabkan kematian tambahan, tetapi, jelas ini masalah serius, perhatian serius," katanya.
Halaman 3>>
Dengan kejadian ini beberapa ahli menekankan bahwa vaksin tidak memberikan perlindungan 100% kepada para penerimanya. Meski begitu mereka menghimbau agar proses vaksinasi terus dilaksanakan.
Satu hal yang mungkin disoroti adalah kenaikan ini terjadi di beberapa negara yang menggunakan vaksin buatan China. Vaksin itu sendiri diketahui memiliki tingkat keampuhan yang tidak setinggi yang dibuat negara-negara barat.
Hal ini disebabkan teknologi konvensional yang digunakan vaksin-vaksin itu dengan menggunakan virus tidak aktif. Hal ini berbeda dengan vaksin barat yang menggunakan teknologi rekayasa mRNA.
"Vaksin yang dibuat dengan virus tidak aktif dikenal karena keamanannya, tetapi cenderung menghasilkan respons kekebalan yang lebih lemah dibandingkan dengan beberapa jenis vaksin lainnya," kata Michael Head, peneliti senior di bidang kesehatan global di University of Southampton di Inggris, menulis dalam sebuah artikel yang diterbitkan di situs web The Conversation.
Meski begitu, ia menyebut penggunaan vaksin China tetap harus berlanjut. Ditegaskannya vaksin China efektiv dalam mencegah infeksi parah dan kematian.
"Namun, uji klinis fase tiga ... vaksin yang menggunakan virus tidak aktif memiliki kemanjuran tinggi terhadap penyakit parah dan kematian dari Covid," tegasnya.
"Di antara beberapa negara yang menggunakan vaksin China, cenderung ditemukan lonjakan infeksi ringan dengan sangat sedikit kasus parah pada individu yang divaksinasi penuh," lanjutnya.