Jakarta, CNBC Indonesia - Awalnya pemerintah waspada, lalu mereka menafikannya. Hal ini berlaku dalam penyebutan status kedaruratan pandemi Covid-19 saat ini: gelombang kedua atau bukan? Data menyatakan: gelombang kedua sudah menghantam, dan kita terbawa ke puncaknya.
Adalah Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Alexander K. Ginting yang awal pekan ini mengatakan penyebaran Covid-19 di Indonesia belum bisa dianggap memasuki gelombang kedua karena masih pasang-surut dan belum pernah mencapai titik terendah yang diikuti lonjakan baru.
"Karena kita negara kepulauan yang luas dan besar, maka susah mendefinisikan gelombang kedua. Infeksi berjalan terus dan tidak pernah mencapai nol atau titik terendah. Kita lebih menyebutnya sebagai lonjakan kasus di perjalanan penanggulangan pandemi," katanya sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com, Senin (21/6).
Saat itu ia berupaya membantah pernyataan Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono yang menyebut Indonesia sudah memasuki gelombang kedua virus corona. Hal itu ditandai dengan lonjakan kasus Covid-19 secara signifikan di mana kenaikan kasus Covid-19 lebih tinggi dari yang terjadi akhir Januari 2021.
Jika mengacu pada data, argumen Pandu beralasan. Tidak perlu menunggu kembali ke titik terendah untuk menentukan awal dari fase gelombang kedua. Argumen Alex absurd, mengingat titik terendah adalah 1, alias kasus pertama. India misalnya, mencetak tiga gelombang Covid-19 di mana semua kurva kenaikan tak berawal dari titik terendah (alias titik awal pandemi).
Dan akhirnya, pemerintah pun terbuka mengakui itu. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyatakan gelombang kedua penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia tak dapat terelakkan, berkaca pada peningkatan pesat kasus dalam beberapa hari terakhir.
"Dalam waktu singkat jumlah penderita Covid-19 meningkat sangat pesat. Rumah sakit dan tenaga medis menjadi kewalahan, gelombang kedua pandemi tidak bisa terelakkan," kata Moeldoko dalam video yang ia unggah di akun Instagramnya @dr_moeldoko pada Kamis (25/6).
Di situ, Moeldoko menekankan pentingnya peran masyarakat menjaga disiplin protokol kesehatan dan "saling menjaga satu sama lain". Tidak disinggung sama sekali soal kebijakan karantina pemerintah (untuk pendatang asing) yang hanya 5-12 hari alias di bawah standard Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Demikian juga mengenai minimnya penegakan protokol kesehatan di lapangan, apalagi soal contoh buruk kerumunan yang diciptakan para aparat pemerintah dan mendapat "diskresi" seperti kasus kerumunan Presiden Joko Widodo di Nusa Tenggara Timur (NTT), sesi foto para menteri tanpa protokol kesehatan, hingga pemilihan kepala daerah.
Berdasarkan model yang disusun Epiforecasts, lembaga penyedia data sumber terbuka (open source) mengenai proyeksi kasus Covid-19 di negara-negara seluruh dunia, Indonesia termasuk ke dalam negara yang menghadapi lonjakan kasus, jika penanganan pandemi tak berubah.
Perhitungan yang disusun oleh tim Center for Mathematical Modelling of Infectius Disease (CMMID) ini memproyeksikan dampak penyebaran virus yang "tertangkap" pada 23 Juni lalu, ketika intervensi pemerintah dalam penanganan pandemi belum berubah.
Singkatnya, mereka menghitung virus bakal menyebar ke berapa orang dalam 14 hari sejak tanggal 23 Juni, yang berujung pada proyeksi perubahan angka kasus baru Covid-19 tanggal 7 Juli nanti (sesuai dengan masa inkubasi virus, yakni 14 hari).
"Ini memungkinkan pengampu kebijakan mengkaji efektivitas intervensi yang kini dijalankan, dan akan bermanfaat untuk menentukan apakah penularan akan meningkat ketika intervensi dicabut," demikian tulis anggota tim peneliti Epiforecasts Sam Abbott, dalam laporan berjudul "Estimating The Time-varying Reproduction Number of SARS-CoV-2 Using National and Subnational Case Counts."
 Sumber: Epiforecasts (2021) |
Mengacu pada proyeksi tersebut, Indonesia di atas kertas bisa mencatatkan kenaikan kasus ke angka 26.007 per hari pada 7 Juli nanti jika tren tidak berubah, dalam arti tidak ada kebijakan khusus untuk mengintervensi variabel pembentuk angka penyebaran virus (yakni pola aktivitas masyarakat, ketiadaan pembatasan sosial, longgarnya karantina, dst).
Harap dicatat, angka 26.007 itu merupakan median, atau nilai tengah dari model penghitungan yang dibuat oleh CMMID berdasarkan tren 3 bulan terakhir tersebut. Garis tertinggi di angka 36.747 dan yang terendah di 18.989. Jika diperhatikan, ada wilayah biru muda di atas dan bawahnya, yang menunjukkan credible interval (rentang kredibel) estimasi mereka.
Interval itu menunjukkan bahwa dalam skenario terburuk, ada peluang kasus baru Covid-19 menyentuh 70.000 kasus baru per 7 Juli nanti. Sebaliknya proyeksi terbawah, dalam skenario terbaik di kisaran 21.000-an. Lebarnya rentang itu menunjukkan tingginya probabilitas hasil perhitungan matematis, tetapi dengan tingkat presisi rendah. Angka ini berubah tiap hari mengikuti update data Covid-19.
Tingkat reproduksi efektif (R0) atau penyebaran virus Indonesia di angka 1,3 yang berarti tiap 100 pengidap Covid-19 di Tanah Air bakal menulari 130 orang, yang menularkan lagi ke 169 orang, dst. Tingkat reproduksi di atas 1 menunjukkan bahwa virus menyebar secara eksponensial, sedangkan di bawah itu menunjukkan bahwa penyebaran sudah terkendali.
Sekarang pilihan ada di tangan Presiden Joko Widodo. Sudah terpampang di depan mata bahwa kurva kenaikan gelombang kedua Covid-19 sudah berjalan, apakah masih akan membiarkan kebijakan status quo seperti sekarang, hingga proyeksi 70.000 kasus per hari di atas tercapai?
TIM RISET CNBC INDONESIA