
Lockdown atau PPKM Mikro, Mana yang Terburuk Bagi Ekonomi RI?
![[DALAM] Indonesia Resmi Resesi!](https://awsimages.detik.net.id/visual/2020/11/05/dalam-indonesia-resmi-resesi_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Penularan kasus Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat. Hingga Jumat (25/6/2021) terjadi penambahan kasus aktif corona sebanyak 18.872 orang, sehingga total kasus saat ini mencapai 2.072.867 orang.
Seruan lockdown mulai menggema. Bukan hanya dari kalangan profesi kesehatan, tapi kini juga para ekonom. Pasalnya jika Indonesia tidak menerapkan lockdown, ekonomi Indonesia dikhawatirkan akan semakin terperosok nantinya.
Kebijakan pengetatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro mulai dari 22 Juni hingga 5 Juli 2021, dinilai tidak efektif dalam menghalau lonjakan Covid-19.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, belajar dari adanya lonjakan kasus Covid-19 di India, dibutuhkan waktu 1-2 bulan untuk mengurangi kasus harian. Kemudian dilihat dari evaluasi PPKM mikro pada tahun lalu setelah adanya libur natal dan tahun baru, memang kemudian terjadi pengurangan kasus.
Kendati demikian, di kondisi saat ini dimana varian virus baru atau Varian Delta dari India yang sudah masuk ke Indonesia menyebabkan penularan kasus Covid-19 lebih cepat menular, maka kata Josua perlu dipertimbangkan upaya lebih dari PPKM mikro, seperti lockdown.
"Dengan ancaman varian baru, mungkin harus dipertimbangkan (upaya pengendalian) yang lain juga," jelas Josua kepada CNBC Indonesia, Jumat (25/6/2021).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan, lockdown justru bisa mengurangi risiko ekonomi, caranya dengan pembatasan sosial dalam waktu dua minggu.
"Hal itu diharapkan menurunkan positive rate covid-19, dan ketika ekonomi dilonggarkan pertumbuhannya jadi lebih solid tidak semu," jelas Bhima.
Sebagai contoh adalah upaya China saat melakukan lockdown, membuat ekonomi turun atau -6,8% pada kuartal I-2020, tapi rebound positif di Kuartal ke II sebesar 3,2% dan berlanjut hingga terakhir Kuartal I-2021 ekonomi China tumbuh tinggi sebesar 18,3%.
Dalam pengendalian virus corona, Indonesia juga sudah melakukan berbagai upaya, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kemudian beralih ke PSBB transisi, kemudian saat ini adalah PPKM mikro diperketat.
"Tapi fakta bahwa kembali ledakan kasus, menunjukkan kalau pembatasan yang tanggung, akhirnya kurang optimal dalam mencegah penularan," jelas Bhima.
Dengan PPKM mikro saat ini, kata Bhima kontraksi di sektor transportasi, perhotelan, restoran akan berlanjut hingga Kuartal IV-2021. Sektor yang berkaitan dengan mobilitas penduduk akan alami tekanan paling dalam. Sementara industri manufaktur juga mulai menyesuaikan dengan permintaan yang menurun.
Kepala Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana menilai penerapan lockdown tentunya akan berdampak pada konsumsi domestik.
Namun, dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian tidak akan sedalam seperti penerapan PSBB pada 2020 mengingat adanya perubahan perilaku masyarakat pasca vaksinasi Covid-19.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Senior Economist Standard Chartered Aldian Taloputra mengatakan jika PPKM total dilakukan secara keseluruhan, dia menilai dampak negatif ke pertumbuhan ekonomi bisa lebih terjaga.
Pasalnya, kata Aldian protokol kesehatan, program vaksinasi sudah cukup kondusif, tidak seperti di awal pandemi ketika semua negara melakukan pengetatan secara bersamaan.
"Saya pikir secara keseluruhan dampak negatif ke pertumbuhan seharusnya lebih terjaga dikarenakan implementasi protokol kesehatan, program vaksin, dan cukup kondusif global demand, tidak seperti di awal pandemi ketika semua negara melakukan pengetatan secara bersamaan," jelas Aldian kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Bhima telah mencoba memperhitungkan skenario lockdown dua minggu, yang mungkin bisa diterapkan dalam rentang bulan Juni-Juli 2021.
Dengan skenario lockdown dua minggu tersebut, pertumbuhan ekonomi satu tahun penuh 2021 kemungkinan akan tumbuh 3% hingga 4,5%.
Risiko kehilangan PDB dengan asumsi target pertumbuhan 2021 sesuai APBN sebesar 5% atau setara dengan jumlah PDB sebesar Rp 16.205 triliun. Sehingga, akan kehilangan PDB sebesar Rp 77 triliun sampai Rp 308 triliun.
"Sementara jika tanpa di lockdown, pertumbuhan ekonomi 2021 bisa kembali kontraksi atau -0,5% hingga 2%. Risiko kehilangan PDB Rp 463 triliun sampai Rp 848 triliun. Jadi, kenapa tidak lockdown saja?," jelas Bhima.
Dengan asumsi lockdown Jakarta per hari Rp 550 miliar, maka kebutuhan dana maka lockdown selama dua minggu butuh biaya sekira Rp 7,7 triliun.
Dengan asumsi Jakarta punya kontribusi 70% terhadap perputaran uang nasional, maka lockdown nasional kata Bhima dengan asumsi perhitungannya, dibutuhkan dana sebesar Rp 11 triliun hingga Rp 25 triliun selama 14 hari.
"Biayanya lebih murah dibanding kerugian ekonomi daripada tidak lakukan lockdown. Setelah lockdown berhasil maka ekonomi bisa tumbuh lebih solid. Jangan kondisi darurat kebijakannya nanggung. Padahal biaya lockdown hanya butuh 6% dari alokasi anggaran infrastruktur 2021 sebesar Rp 413 triliun," kata Bhima melanjutkan.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Amit-amit! Covid Meledak, RI Lockdown, Ekonomi Ambruk (Lagi)