Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu sempat menyampaikan, biaya yang ditanggung tidak murah. Untuk DKI Jakarta saja dibutuhkan Rp 550 miliar per hari. Jabodetabek berarti bisa tiga kali lipat dari biaya tersebut.
Pada sisi lain, kondisi geografis dan mobilitas penduduk di Indonesia tidak cocok dengan pola lockdown. Sehingga dikhawatirkan, kas negara habis namun covid juga tidak teratasi.
"Untuk Jakarta saja, pernah kami hitung-hitungan per hari membutuhkan Rp 550 miliar. Hanya Jakarta saja. Kalau Jabodetabek tiga kali lipat. Itu per hari," kata Jokowi saat itu.
"Jadi dalam memutuskan setiap negara itu beda-beda. Karena karakternya beda, tingkat kesejahteraannya beda, tingkat pendidikan beda, tingkat kedisiplinan berbeda, geografis berbeda, kemampuan fiskal berbeda. Nggak bisa kita disuruh meniru negara lain," lanjutnya.
Di Jakarta, usulan lockdown mendapat penolakan. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani mengatakan bahwa PSBB ketat bukan pilihan bijak dalam kondisi saat ini.
Belajar dari pengalaman setahun terakhir, Pemerintah Provinsi DKI telah banyak mengalokasikan anggaran selama beberapa kali menerapkan PSBB.
Ia khawatir, PSBB ketat akan kembali menguras pendapatan, sehingga Pemprov tak dapat membiayai kesehatan.
Situasi itu justru akan lebih fatal, sebab pemerintah tak memiliki pendapatan dari sektor pajak.Menurut Zita, aspek kesehatan dan ekonomi lebih baik berjalan bersamaan.
Saat ini, katanya, sejumlah lini usaha mulai kembali bergeliat setelah sempat tutup karena PSBB. Ia khawatir ekonomi akan kembali lumpuh jika pemerintah menarik rem darurat.
"Ini kalau terlalu kencang, remnya terlalu kencang ya nanti akibatnya pajak kita drop. Kalau pajak kita drop, tidak bisa Pemprov melakukan pembiayaan untuk kesehatan," kata Zita.
Desakan lockdown diketahui mulai diutarakan berbagai pihak selama sepekan terakhir, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra misalnya.
Hermawan mengatakan pemerintah memiliki dua opsi yang bisa diambil saat ini, yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat atau lockdown regional. Dari kedua opsi itu, pilihan yang paling sesuai saat ini menurut Hermawan adalah lockdown regional.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X yang sebelumnya menyerukan lockdown untuk mencegah penyebaran Covid di wilayahnya, kini berpikir ulang untuk menerapkan. Menurut Sultan, lockdown merupakan opsi terakhir dalam menangani lonjakan Covid.
"Itu (lockdown) pilihan terakhir," kata Sultan ditemui usai rapat koordinasi penanganan Covid-19 bersama bupati/walikota se-DIY di Gedhong Pracimosono Kota Yogyakarta, Senin (21/6).
Sultan mengatakan, Pemda DIY bersama pemerintah kabupaten/kota lain akan kembali mengandalkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro yang diperketat, sesuai instruksi pemerintah pusat.
Pemerintah pusat sebelumnya telah menetapkan untuk mengambil kebijakan mengetatkan PPKM mikro mulai 22 Juni hingga 5 Juli sebagai salah satu jalan menekan laju penyebaran Covid-19.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mengungkapkan hal serupa. Emil, sapaan akrabnya, mengatakan, jika pemerintah pusat menetapkan lockdown, maka pihaknya akan mengikuti ketentuan itu.
Namun, Emil mengaku tak sependapat dengan usulan lockdown. Pasalnya, sejak awal telah disepakati tidak ada lagi istilah lockdown.
"Dan sebenarnya tidak ada istilah lockdown. Saya juga bingung dihidupkan lagi istilah lockdown karena dulu sudah disepakati lockdown itu bahasa Indonesia-nya PSBB (pembatasan sosial berskala besar)," ujar Emil.
"Jadi istilah PSBB ini harus dibarengi dengan kesiapan pangan, sembako kepada mereka yang tidak bisa WFH," tambahnya.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menegaskan, lockdown tidak pernah menjadi salah satu alternatif upaya pengendalian Covid-19. Khofifah menegaskan pihaknya sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dengan menerapkan PPKM Mikro.
Khofifah menjelaskan, opsi lockdown di Jatim berbasis mikro. Hal itu telah diterapkan di sejumlah permukiman warga di Kota Pasuruan dan Malang.
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi meminta agar masyarakat di wilayahnya tidak ikut-ikutan latah mendesak lockdown menyusul lonjakan kasus di sejumlah wilayah. Ia juga menegaskan sedari awal pihaknya tidak pernah membahas mengenai opsi lockdown.
"Saya dari awal tak membahas lockdown. Tak bisa seperti itu. Jangan latah. Jangan karena orang lockdown, maka Sumut juga harus lockdown," ucap Edy.
Eks Pangkostrad itu menyebut, lockdown di Sumut akan berimbas pada permasalahan ekonomi. Hal ini juga berpotensi untuk menjadi masalah sosial.
Menurut dia, kebijakan lockdown membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, wilayah Sumut memiliki banyak jalan tikus, sehingga lockdown tidak akan efektif.
"Persoalan lockdown inikan biayanya tinggi. Terus siapa yang bisa ngawasi. Sumatera Utara itu banyak pintu tikus. Contoh Tebingtinggi ke Medan, di lockdown di situ lewat gunung dia bisa. Ada jalannya semua," ujar dia.
Edy juga mengklaim bahwa kasus Covid-19 di Sumut relatif terkendali. Bahkan, tingkat keterisian tempat tidur di Sumut hanya 35 persen.