Perkenalkan, Ini Harta Karun Migas Baru RI, Si 'Es Api'

Wilda Asmarini dan Arif Gunawan, CNBC Indonesia
19 June 2021 08:20
Oil pump silhouette at night.
Foto: kotkoa / Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dikaruniai sumber daya energi melimpah, termasuk minyak dan gas bumi (migas). Meski cadangan migas konvensional di Tanah Air terus menurun setiap tahunnya, namun di sisi lain Indonesia memiliki 'harta karun' baru di sektor migas, tepatnya migas non konvensional berupa metan hidrat atau gas hidrat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, sumber daya 'harta karun' migas baru ini bahkan bisa diproduksi hingga 800 tahun lamanya.

Namun sayangnya, gas hidrat ini sampai saat ini belum tersentuh sama sekali. Oleh karena itu, Arifin berharap agar ini bisa dikembangkan dan menjadi sumber alternatif baru untuk mendukung ketahanan energi nasional di masa mendatang.

"Kita harap ini bisa jadi sumber energi alternatif baru, ini mendukung ketahanan energi 800 tahun ke depan," ungkapnya dalam webinar, Selasa (08/06/2021).

Berikut sederet fakta tentang metan hidrat, yang dirangkum CNBC Indonesia:

Apa Itu Metan Hidrat?

Metana hidrat adalah senyawa hidro karbon yang unik, karena tidak seperti energi fosil lain yang berbentuk padat (batu bara), cair (minyak bumi), dan gas (gas alam), ia berbentuk kristal es. Namun tidak seperti es biasanya, ia mudah terbakar karena di dalamnya terperangkap gas metana dalam jumlah besar. Dari situ, ia mendapat julukan baru, yakni 'Fire Ice' alias 'Es Api'.

Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Doddy Abdassah mengatakan metan hidrat adalah gas hidrat berbentuk kristal es di mana molekul air membentuk struktur seperti kurungan atau clathrate, sehingga memiliki rongga yang dapat terisi oleh molekul gas.

"Jadi ada kurungan molekul-molekul air, kemudian di tengahnya menjebak molekul hidrokarbon bisa metana, C2, C3 ada juga CO2," paparnya dalam webinar secara daring, Selasa (09/05/2021).

Gas hidrat ini menurutnya sering disebut dengan 'Fire Ice' karena bentuknya seperti es, namun bisa terbakar.

"Gas Hidrat sering juga disebut sebagai 'Fire Ice'," ujarnya.

Senyawa ini sudah ditemukan sejak tahun 1960 di Rusia. Saat itu, ilmuwan Negeri Tirai Besi menemukan akumulasi gas alam di zona hidrat-lapisan perairan (formasi hidrosfer). Temuan itu dipublikasikan di jurnal ilmiah Rusia bernama Doklady Akademii Nauk-salah satu jurnal ilmiah tertua, yang sayangnya sudah tidak lagi terbit sejak tahun 1992.

Meski demikian, ilmuwan Rusia belum berpikir untuk mengeksploitasi temuan Es Api di Siberia tersebut karena sifat senyawanya yang sangat rentan oleh perubahan tekanan, dan cadangan gas dan minyak saat itu masih melimpah. Mengapa harus repot?

Studi mengenai penggunaannya baru dimulai awal tahun 2000, di tengah menipisnya cadangan energi fosil konvensional. Salah satunya dilakukan oleh Stephen P. Hesselbo dalam makalah berjudul "Massive Dissociation of Gas Hydrate during A Jurassic Oceanic Anoxic Event."

Berapa Besar Potensi Metan Hidrat?

Doddy mengatakan, sebagai perbandingan, deposit gas alam mencapai 13.000 triliun kaki kubik (TCF). Sementara deposit gas hidrat di darat saja mencapai 5.000 - 12.000.000 TCF dan di bawah laut 30.000 - 49.000.000 TCF.

Lebih lanjut dia menjelaskan gas hidrat adalah sumber daya hidrokarbon non konvensional terbesar di bumi dan diperkirakan 50% deposit hidrokarbon tersimpan dalam bentuk gas hidrat.


Di Mana Saja Lokasi Sumber Gasnya?

Mengenai sumber gas, Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, potensi gas hidrat ada di pinggir-pinggir benua, baik di Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Selatan.

Berdasarkan data Badan Litbang ESDM, dua area diketahui menjadi tempat akumulasi gas hidrat itu yaitu area permafrost di sekitar Kutub Utara dan sea beds di laut dalam.

Namun demikian, Tutuka mengatakan, Indonesia juga punya potensi gas hidrat ini.

Berdasarkan survei di awal tahun 2004, Indonesia berhasil menemukan sumber daya metan hidrat sebesar 850 TCF. Berada di dua lokasi utama yaitu perairan Selatan Sumatera sampai ke arah Barat Laut Jawa (625 TCF) dan di Selat Makassar Sulawesi (233,2 TCF).

Berdasarkan data Balitbang ESDM, PT Pertamina (Persero) bahkan memperkirakan potensi gas hidrat di Indonesia mencapai 3.000 TCF. Namun, besaran nilai ini masih sering diperdebatkan karena belum ada penelitian komprehensif terkait gas hidrat di Indonesia.

Merujuk kepada peta topografi dasar laut Indonesia, banyak sea beds pada area laut dalam Indonesia diperkirakan memiliki akumulasi gas hidrat dengan nilai volumetrik yang sangat besar.

Analisis berdasarkan data seismik menunjukkan bahwa gas hidrat tersebar di daerah lepas pantai Simeuleu, Palung Mentawai, Selat Sunda, Busur Depan Jawa, Lombok Utara, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Aru, Misool, Kumawa, Wigeo, Wokam dan Salawati. Daerah lain yang dianggap memiliki potensi gas hidrat adalah Laut Flores, Teluk Bone, Laut Sawu, Laut Timor, lepas pantai selatan Banggai, Laut Banda, Laut Seram, Laut Maluku, dan lepas pantai utara Papua.

Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, negara maju berlomba-lomba mengembangkan riset pemanfaatan Es Api. Bedanya, negara Barat seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Kanada memilih berburu gas metana yang terperangkap es kutub Utara, sementara negara Timur seperti Jepang dan China memilih berburu es di hidrosfer, tepatnya di dasar Samudera Pasifik.

Jepang menjadi negara Asia yang paling awal melakukan studi dan eksperimen ekstraksi Es Api, yakni sejak tahun 2013. Pasalnya, Negeri Sakura tersebut memang kini sudah tidak memiliki cadangan energi fosil konvensional dan bergantung pada pasokan gas dan batu bara impor.

Bencana nuklir Fukushima pada 2011 makin mendesak mereka untuk menemukan energi alternatif mandiri. Namun sampai sekarang Jepang belum menemukan know-how untuk mengeksploitasi Es Api tersebut secara aman, efisien, dan menguntungkan secara bisnis.

China tidak mau kalah dalam perlombaan dengan mulai menguji coba ekstraksi Es Api pada tahun 2017. Bahkan, Negeri Panda ini menyalip di tikungan dengan mengumumkan bahwa pihaknya telah berhasil mengekstraksi senyawa tersebut ke permukaan bumi secara lebih efektif ketimbang Jepang.

Pada Maret 2020 lalu, Kementerian Sumber Daya Alam China dalam situs resminya menyebutkan bahwa pada 17 Februari hingga 18 Maret, pihaknya telah mencetak rekor dunia dengan mengangkat 861.400 meter kubik Es Api dari laut berkedalaman 1.225 meter.

Itu merupakan rekor ekstraksi Es Api terbesar dalam sejarah modern. Bahkan, China juga menyematkan diri sebagai pihak yang mengekstraksi Es Api terbanyak dalam sehari, yakni sebesar 287.000 meter kubik.

"Dibandingkan dengan hasil yang kami lihat dari penelitian Jepang, ilmuwan China telah berhasil mengekstraksi lebih banyak gas dalam upayanya," komentar Praveen Linga, profesor bidang kimia dari National University of Singapore, sebagaimana dikutip BBC.

Dia menyebut keberhasilan China itu merupakan terobosan besar yang akan memperkuat pasokan energi gas, mengingat Es Api tersebut memiliki kandungan gas alam yang 10 kali lipat lebih besar dari gas celah bebatuan (shale gas).

Kemungkinan besar, Es Api inilah yang menyebabkan China siap berkonfrontasi dengan negara-negara Asia Tenggara dalam kasus Laut China Selatan. Pasalnya, keberhasilan ekstraksi Es Api itu memang terjadi di titik geopolitik terpanas di kawasan Asia Pasifik tersebut.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular