
Permintaan Minyak Dunia Diramal Bakal Meroket di 2022

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Energi Internasional (International Energy Agency/ IEA) mengatakan permintaan minyak dunia akan naik melampaui tingkat sebelum pandemi pada akhir tahun depan.
Dalam tinjauan bulanan reguler, IEA melihat permintaan minyak yang kembali naik secara bertahap seiring dengan vaksinasi yang semakin meluas, serta aktivitas ekonomi yang kembali normal di banyak sektor dan negara.
"Pada akhir 2022, permintaan akan melampaui level sebelum Covid," kata IEA, dikutip dari AFP, Jumat (11/6/2021).
Tahun lalu, permintaan minyak merosot dengan rekor sebesar 8,6 juta barel per hari (bph). Ini dipicu oleh penutupan sebagian besar ekonomi di banyak negara guna menekan penyebaran virus Corona.
Namun IEA memperkirakan pasar minyak akan rebound sebesar 5,4 juta bph pada tahun ini dan selanjutnya 3,1 juta bph pada tahun depan.
Tetapi IEA yang berbasis di Paris memperingatkan negara-negara konsumen minyak jika "pemulihan tidak akan merata, tidak hanya di antara kawasan tetapi di seluruh sektor dan produk."
Permintaan diperkirakan akan pulih lebih cepat di negara-negara kaya dengan akses lebih awal ke vaksin. Sementara beberapa sektor seperti penerbangan tertinggal karena beberapa pembatasan perjalanan tetap berlaku dan lebih banyak orang bekerja dari rumah daripada sebelumnya.
"Kembalinya industri penerbangan global ke kapasitas normal secara luas tampaknya tidak akan terjadi sampai sebagian besar negara mencapai kekebalan kelompok, yang mungkin tidak akan terjadi hingga akhir 2022," kata IEA.
IEA juga mengatakan lonjakan kasus di banyak negara berkembang belum lama ini harus menjadi pengingat bahwa pandemi belum berakhir, dan mencatat bahwa permintaan minyak global turun pada Mei karena wabah.
Selain itu, IEA mengharapkan negara-negara di luar kelompok OPEC+ untuk meningkatkan produksi sebesar 1,6 juta bph pada tahun depan, melebihi level 2019.
Sementara itu negara-negara OPEC+ memiliki kapasitas cadangan sebesar 6,9 juta bph, bahkan setelah meningkatkan produksi sebesar 2 juta bph selama periode Mei-Juli.
"Bahkan, jika produsen OPEC+ akan mengisi kesenjangan yang diciptakan oleh pertumbuhan permintaan, output blok tersebut masih akan lebih dari 2 juta bph, di bawah rata-rata 2019," catatnya.
Anggota kartel OPEC dan sekutunya seperti Rusia memangkas produksi minyak pada tahun lalu untuk mendorong dan menstabilkan harga minyak yang sempat turun ke wilayah negatif. OPEC+ secara perlahan meningkatkan produksi seiring pemulihan ekonomi global, tetapi pada tingkat di mana stok minyak perlahan-lahan berkurang.
IEA mencatat bahwa stok minyak di negara-negara maju OECD turun di bawah rata-rata pra-Covid 2015-2019 untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun.
Cadangan yang lebih rendah ini akan memberikan pengaruh negara-negara OPEC+ yang lebih besar atas harga minyak mentah, dengan dua kontrak minyak teratas baru-baru ini melampaui US$ 70,00 per barel.
IEA juga menyoroti bahwa rebound yang diharapkan dalam permintaan minyak datang karena sebagian besar negara belum mengadopsi kebijakan jangka pendek. Ini untuk memenuhi janji mereka untuk menjadi netral karbon pada pertengahan abad, seperti yang dirinci dalam laporan lain belum lama ini.
"Sementara itu, permintaan minyak tampaknya akan terus meningkat, menggarisbawahi upaya besar yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan," pungkasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Arab Saudi Tak Lagi Kendalikan Pasar Minyak Global?