Review Draf RUU KUP

Sembako Sampai Uang Sekolah Mau Dipajaki, Oh My!

Tirta, CNBC Indonesia
10 June 2021 14:58
Uji coba pembelajaran tatap muka di SDN Kebayoran Lama Selatan 17 Pagi, Jakarta, Rabu (9/6/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Uji coba pembelajaran tatap muka di SDN Kebayoran Lama Selatan 17 Pagi, Jakarta, Rabu (9/6/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah begitu agresif memajaki barang dan jasa di sana sini. Selain penetapan PPh Badan minimum untuk perusahaan yang merugi, skema pajak karbon, PPN pun jadi sasaran yang tarifnya akan ditingkatkan seperti Cukai Hasil Tembakau (CHT)

Rencana tersebut tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menariknya beberapa barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan dari PPN seperti sembako hingga pendidikan bakal dipajaki. 

Dalam draft RUU KUP tersebut diketahui pemerintah menghapus jasa pendidikan dari kategori jasa yang tidak dikenai PPN. Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 4A ayat (3). Dalam draf RUU KUP tersebut, pemerintah juga memutuskan untuk menambah jenis jasa yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN.

Selain sekolah, ada jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat di air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Tarif PPN umum Indonesia saat ini memang terbilang rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yakni hanya 10%. Namun di kawasan Asia Tenggara Indonesia bukan yang terendah karena masih ada Singapura dan Thailand yang lebih rendah di angka 7%. 

Rencananya tarif PPN umum akan ditingkatkan dari 10% menjadi 12%. Terkait rencana ini pemerintah berjanji tak akan membabi buta dengan menyamaratakan tarif PPN untuk semua barang dan jasa. 

Untuk PPN multi tarif tertuang dalam pasal 7A ayat 2 yang menuliskan bahwa dalam skema ini paling rendah dikenakan sebesar 5% dan paling tinggi 25%. Tarif tertinggi ini akan dikenakan untuk barang super mewah dan tarif terendah untuk barang kebutuhan pokok atau sembako.

Kendati demikian, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, tarif rendah dalam skema multi tarif ini tidak dikenakan untuk setiap jenis kebutuhan pokok. Terutama untuk kebutuhan pokok seperti beras dan minyak bisa dikenakan PPN hanya 1%.

Peningkatan tarif PPN untuk sembako, jasa pendidikan dan transportasi hanya akan berdampak pada peningkatan inflasi. Dengan asumsi sembako dikenakan PPN sebesar 1% sementara pendidikan dan jasa transportasi masing-masing 5% maka akan ada kenaikan inflasi sebesar 0,2%. 

JenisKontribusiSkenario No PPNPlus PPNSkenario Plus PPN
Makanan20.1%20.1%1%0.20%
Pendidikan2.6%2.6%5%0.13%
Transportasi5.6%5.6%5%0.28%

Sumber : BPS, CNBC Indonesia Analysis

Untuk kasus sembako terutama beras memang tidak bisa dipajaki dengan tarif tinggi. Bahkan kena pajak pun sangatlah kontroversial mengingat kontribusi beras terhadap total pengeluaran konsumen dalam negeri mencapai 3,3%.

Masyarakat miskin juga sangat sensitif terhadap fluktuasi harga beras. Menurut kajian Bank Dunia, setiap ada kenaikan harga beras sebesar 10% maka akan ada tambahan 1,2 juta orang miskin di Indonesia. Ini menjadi alasan mengapa harga sembako terutama beras harus dijaga agar tetap stabil.

Halaman Selanjutnya >> Apakah Momentumnya Tepat?

Meskipun dampak inflasinya terbilang minim, tetapi ada aspek lain yang patut dipertimbangkan. Namun sebelum membahas hal tersebut jauh lebih baik memahami alasan dibalik wacana peningkatan tarif pajak di dalam negeri. 

Upaya untuk menaikkan pajak sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) pun rencana ini juga digaungkan oleh Presiden Biden dan Menkeu Jenet Yallen. AS berencana menaikkan tarif pajak korporasi hingga pajak penghasilan para 'sultan' alias crazy rich-nya. 

Jika dicermati hal ini dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama tentu defisit anggaran yang bengkak. Saat pandemi Covid-19 melanda, penerimaan negara dari pajak turun signifikan sementara belanjanya bengkak. Di AS defisit anggaran 2020 diperkirakan tembus 10% PDB. 

Defisit fiskal yang melebar tak bisa dibiarkan terus menerus karena akan berdampak pada peningkatan utang. Rasio utang terhadap pendapatan nasional yang tinggi meski masih menjadi perdebatan banyak ekonom tetap dinilai berdampak negatif untuk keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Sehingga mau tak mau penerimaan harus ditingkatkan. 

Selain masalah defisit anggaran, instrumen peningkatan tarif pajak juga bisa digunakan untuk mengontrol inflasi. Per April lalu inflasi di AS naik menjadi 4,2% (yoy) tertinggi dalam satu dekade. Malam ini AS akan merilis data inflasi bulan Mei. Konsensus memperkirakan inflasi bakal naik lagi ke 4,7% (yoy). 

Pemicunya adalah peningkatan ekspektasi inflasi, likuiditas yang berlimpah dibarengi dengan pembukaan ekonomi secara gradual ketika vaksinasi terus berlanjut serta fenomena low base effect. 

Sekarnag mari beralih ke Indonesia. Masalah yang dihadapi pemerintah RI juga sama dengan AS yakni defisit fiskal yang melebar. Tahun 2020 defisit anggaran Indonesia mencapai 6,1% PDB. Tahun ini dipatok di 5,7% PDB. 

Defisit tersebut harus ditambal dengan utang. Per akhir Desember 2020 utang pemerintah tercatat mencapai Rp 6 kuadriliun atau setara dengan 38,5% PDB. Hingga April 2021, APBN sudah tekor Rp 138 triliun. Pembiayaan utang tembus Rp 410 triliun. Total utang pemerintah tembus Rp 6,5 kuadriliun atau setara dengan 41% PDB.

Pemerintah berkewajiban untuk menurunkan defisit anggaran kembali di bawah 3% pada 2023. Inilah yang membuat pemerintah begitu agresif untuk meningkatkan outlook fiskal di 2020 guna mengejar target tersebut. 

Namun kendalanya adalah di momentum. Tahun 2021 diharapkan bakal menjadi tahun pemulihan ekonomi RI setelah resesi. Hanya saja pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih tetap di bawah 5% atau rata-rata lima tahun terakhir. 

Konsolidasi fiskal yang terlalu cepat hanya akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu tujuan utama pemerintah. Artinya momentum memegang peranan penting. 

Kebijakan fiskal seharusnya ditujukan untuk menjamin warga negara bisa hidup dengan layak. Arti hidup layak adalah memperoleh segala kebutuhan pokoknya mulai dari makanan yang sehat dan bergizi hingga pendidikan yang layak. Itulah salah satu tujuan utama dari keberadaan suatu negara. 

Untuk sampai ke sana memang dibutuhkan kebijakan yang pro-growth tetapi juga prudent terutama dalam hal mengelola anggaran. Yang jadi masalah sekarang adalah ketika masyarakat dan pelaku usaha belum benar-benar pulih dari krisis kok sudah harus menanggung beban lain.

Pendapatan masyarakat harus kembali terancam, padahal belum lama ini keyakinan konsumen perlahan mulai pulih. Hal yang dikhawatirkan adalah peningkatan pajak yang agresif di momentum yang tidak tepat hanya akan membuat seluruh pelaku ekonomi baik pemerintah, masyarakat dan sektor usaha mengalami defisit. Jangan sampai ini terjadi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular