
Denyut Bioskop Mulai Hidup, Ternyata Ini Pemicunya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bisnis bioskop mulai kembali bergeliat terutama momen Ramadhan dan Idul Fitri, banyak masyarakat yang mulai kembali percaya diri menonton film di bioskop. Hal ini terlihat dari postingan di berbagai platform media sosial.
Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPSBI) Djonny Syafruddin mengakui bahwa bergeliatnya bioskop lebih berasal dari dukungan film impor.
"Kebetulan film yang bagus dari Amerika, yang ditonton sekarang impor semuanya genre horor-horor, The A Quiet Place Part II dan The Conjuring itu sangat membantu," katanya kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/6/21).
Pilihan Redaksi |
Kedua film itu mampu memberi angin segar membantu pengeluaran biaya operasional bioskop. Kalangan pengusaha mengaku tidak mengincar keuntungan dari masa-masa awal kebangkitan bioskop, namun setidaknya mampu membayar fix cost yang keluar seperti listrik dan gaji karyawan.
"Kenaikannya lumayan tapi belum signifikan kayak dulu. Bioskop Independen, bukan jaringan semalam rata-rata dapat Rp 25 juta - Rp 30 juta. Sekarang pertama buka Oktober itu Rp 2 juta sehari saja susah. Sekarang sudah di atas Rp 5 juta, malam minggu Rp 10 juta, tapi belum pulih kayak dulu," kata Djonny.
Selain faktor film, keberanian masyarakat pergi ke bioskop ada kaitannya dengan progres vaksinasi. Meski demikian, Djonny tetap meminta bantuan agar biaya operasional ini tetap bisa terjaga ke depannya, termasuk permintaan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
"Sasaran jangan sampai rugi, untung besar nanti dulu. Saya minta Pak Erick Thohir kalau mau bantu bioskop nggak usah pakai duit, tarif listrik saja 25% diskon PLN," katanya.
Film-Film Nasional
Pelaku film nasional belum berani untuk memutar filmnya di bioskop. Di sisi lain, pengusaha di bidang pengelolaan bioskop berharap agar para pelaku film nasional tersebut bisa mulai memberanikan dirinya. Hal ini karena tingkat kunjungan ke bioskop masih tergolong rendah. Apalagi, jumlah film nasional yang masih tertahan dirilis sangat banyak.
"Yang kita harapkan itu buat daerah itu film nasional, film nasional ini diganderungi seluruh daerah Indonesia, ini nggak berani. Ada 130 judul yang belum berani mereka turunkan, masuk list saya," kata Djonny.
Di beberapa website bioskop seperti Cinema XXI, CGV hingga Cinepolis, maka bisa terlihat bahwa film Indonesia yang tayang hanya sedikit, misalnya hanya Tjoet Nja' Dhien serta Gas Kuy.
Sementara film yang mendominasi berasal dari film impor. Beberapa nama misalnya Fast & Furious 9, In The Heights, Spirit Untamed, serta Cruella. Selain itu, ada dua film penopang utama ber-genre horor yakni The A Quiet Place Part II dan The Conjuring: The Devil Made Me Do It.
"Memang sekarang ini film nasional kita, produser sutradara nggak berani merilis, jadi yang ditonton sekarang impor semuanya, yang horor itu," kata Djonny.
Ketidakberanian pelaku film nasional ke bioskop tidak lepas akibat resiko pendapatan yang kecil. Dengan kapasitas penonton 50% dan asumsi bioskop tidak penuh, maka pendapatan dari tiket bakal jauh berkurang dibanding waktu normal.
Namun, ada cara lain yang ditempuh, yakni mengirimnya ke video on demand seperti Netflix dan Disney Plus Hotstar. Namun, Djonny menilai porsi kerjasama itu masih kecil.
"Cuma tidak sebesar ke bioskop, (untuk) alternatif masih lumayan. Tapi gimanapun bioskop nggak bisa tergantikan. Dari segi ambience, layar, suasananya, sarana dan lainnya," kata Djonny.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article XXI Sampai CGV Bertumbangan: Bioskop Mati Segan, Hidup Susah!