
'Bom' Ini Ancam Lumpuhkan Ekonomi Dunia, Ini Penjelasannya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Para tim ekonom Deutsche Bank memberikan sebuah peringatan penting bagi perekonomian dunia. Mereka menyebut pemberian stimulus yang diberikan bank sentral bisa menyebabkan inflasi yang sangat signifikan.
Hal ini disampaikan bukan tanpa alasan. Pasalnya mereka menyebut kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk mentolerir inflasi tinggi demi pemulihan ekonomi yang dibarengi pemberian stimulus akan menjadi sebuah "bom waktu" yang bahkan dapat menyebabkan resesi.
"Konsekuensi dari penundaan akan menjadi gangguan yang lebih besar dari aktivitas ekonomi dan keuangan daripada yang akan terjadi ketika Fed akhirnya bertindak," kepala ekonom Deutsche, David Folkerts-Landau, dikutip dari CNBC International, Rabu (9/6/2021).
"Pada gilirannya, ini dapat menciptakan resesi yang signifikan dan memicu rantai kesulitan keuangan di seluruh dunia, terutama di pasar negara berkembang."
Proyeksi DB memang berbeda dengan konsensus. Baik bank sentral AS, The Federal Reserves (The Fed) maupun bank investasi Wall Street lainnya mempercayai bahwa peningkatan inflasi hanya akan terjadi secara temporer.
"Semua ini menunjukkan bahwa pejabat Fed dapat tetap dengan rencana mereka untuk keluar secara bertahap dari sikap kebijakan yang mudah saat ini," tulis Jan Hatzius, kepala ekonom di Goldman Sachs.
Memang saat wabah melanda, banyak negara memilih mengerem laju perputaran roda ekonominya dengan lockdown. Meskipun skalanya berbeda-beda, tetapi dampak yang ditimbulkan sama yaitu penurunan pendapatan masyarakat maupun korporasi. Alhasil tingkat kesejahteraan di negara maju dan negara berkembang pesat.
Daya beli yang menurun membuat inflasi mengalami penurunan. Bahkan dunia sempat dilanda deflasi ketika harga berbagai komoditas dan biaya signifikan akibat beban publik yang serempak.
Hal ini mengundangupaya bank sentral untuk meningkatkan pasokan uang beredar di sistem ekonomi. Bahkan pemerintah juga memberikan stimulus langsung ke sektor riil seperti dengan pemberian BLT.
Namun bagi para ekonom DB, mereka mengatakan bahwa stimulus mega jumbo yang disetujui kongres AS senilai US$ 5 triliun baru akan dapat didistribusikan dengan baik ketika pertumbuhan ekonomi diprediksi mencapai 10%. Ini terlalu terlambat dan terkesan sangat tidak perlu.
"Belum pernah kita melihat kebijakan fiskal dan moneter ekspansif yang terkoordinasi seperti itu. Ini akan berlanjut ketika output bergerak di atas potensi," ujar Folkers-Landau lagi.
"Inilah mengapa kali ini berbeda untuk inflasi."
Lewat program pelonggaran kuantitatif (QE) The Fed sendiri sudah menjelaskan likuiditas ke sistem keuangan lebih dari 30% output perekonomian AS. Pemerintahnya juga memberikan stimulus hingga 26% dari total PDB.
Langkah ini tidak hanya dilakukan di AS dan negara maju saja tetapi juga negara-negara berkembang. Kini mobilitas sudah membaik terutama di AS dan Eropa. Uang tak lagi mengendap di akun deposito perbankan. Masyarakat sudah berbelanja.
Likuiditas yang dibarengi dengan naiknya laju perpindahan uang (kecepatan uang) mendorong peningkatan terjadinya reflasi. Tingkat inflasi April lalu di AS mencapai 4,2% (yoy), tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Inflasi sendiri merupakan hal yang perlu dijaga pertumbuhannya. Ketika terlalu tinggi berbahaya, berbahaya pun membahayakan. Inflasi seluruh dunia yang mendukung dan pertumbuhan ekonomi menjadi sasaran bank sentral di dunia.
Dalam kasus proyeksi DB ini, mereka menyatakan bahwa Negeri Paman Sam dapat mengalami stagflasi, yakni pertumbuhan rendah bahkan resesi, inflasi dan inflasi.
Inflasi yang tinggi dan bertahan lama akan memiliki dampak negatif pada para pelaku ekonomi baik pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat luas. Bagi masyarakat tingkat inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli.
Inflasi yang tinggi juga menjadi downside risk bagi pemerintah. Kenaikan harga baik, barang setengah jadi maupun barang jadi akan merasa senang karena anggaran lewat dua jalur. Pertama adalah peningkatan belanja dan juga peningkatan belanja untuk kebutuhan pembiayaan.
Secara keseluruhan inflasi yang tinggi adalah bagi penyakit perekonomian. Saat ini AS masih menjadi sorotan utama soal inflasi meskipun fenomena ini juga terjadi di berbagai negara lain.
Tingginya inflasi di AS akan berdampak bagi negara lain termasuk Indonesia. Ketika inflasi yang tinggi terjadi di AS dan daya beli masyarakatnya tergerus, maka permintaan terhadap barang dan jasa bisa menurun. Hal ini berarti kebutuhan impor ikut menurun.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awas, Ada 'Bom' yang Bakal Lumpuhkan Ekonomi Dunia