Internasional

Ini 'Bom Waktu' yang Disebut Deutsche Bank Bakal Picu Krisis

Tirta, CNBC Indonesia
08 June 2021 13:20
Deutsche Bank
Foto: Deutsche Bank (REUTERS/Simon Dawson)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom Deutsche Bank (DB) memberikan ramalan yang mengkhawatirkan soal inflasi. Menurut riset para ekonom di bank investasi tersebut kenaikan inflasi layaknya bom waktu yang bisa memicu krisis. 

Proyeksi DB memang berbeda dengan konsensus. Baik bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserves (The Fed) maupun bank investasi Wall Street lainnya mempercayai bahwa peningkatan inflasi hanya akan terjadi secara temporer. 

Para pemangku kebijakan meyakini bahwa inflasi akan mengalami normalisasi ke level yang diinginkan setelah beberapa stimulus dicabut dan masalah disrupsi rantai pasok global dapat diatasi. 

Krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang menjelma menjadi resesi ekonomi bukanlah krisis seperti yang sudah-sudah yang diakibatkan oleh inovasi keuangan dan penyaluran kredit yang ugal-ugalan.  

Saat wabah melanda, banyak negara memilih mengerem laju perputaran roda ekonominya dengan lockdown. Meskipun skalanya berbeda-beda, tetapi dampak yang ditimbulkan sama yaitu penurunan pendapatan masyarakat maupun korporasi. Alhasil tingkat pengangguran baik di negara maju dan negara berkembang melonjak. 

Daya beli yang menurun membuat inflasi mengalami penurunan. Bahkan dunia sempat dilanda deflasi ketika harga berbagai komoditas anjlok signifikan akibat pembatasan mobilitas publik yang serempak. 

Konsumsi masyarakat dan investasi di sektor usaha tak bisa diharapkan untuk menyelamatkan perekonomian apalagi kredit. Karena, bank cenderung ambil aman.

Toh permintaan untuk konsumsi dan ekspansi juga minim. Kini yang tersisa adalah pembuat kebijakan yaitu bank sentral dan otoritas fiskal.

Keduanya sepakat untuk mengambil peran ekstra guna menyelamatkan perekonomian. Bank sentral pangkas suku bunga, membeli aset keuangan hingga turut berpartisipasi dalam program pembiayaan pemerintah. 

Sementara itu otoritas fiskal juga menempuh kebijakan countercyclical untuk mengerem agar aggregate demand tak jatuh lebih dalam. Tak bisa dipungkiri koordinasi keduanya membuat ekonomi berangsur pulih. Pengembangan vaksin yang super kilat juga mendukung optimisme pemulihan ekonomi global. 

Kalau dilihat secara seksama, upaya bank sentral untuk meningkatkan pasokan uang beredar di sistem ekonomi juga masuk ke sektor riil. Karena didukung dengan stimulus dari pemerintah yang memberikan relaksasi pajak hingga bantuan langsung tunai (BLT) untuk masyarakat. 

Lewat program pelonggaran kuantitatif (QE) The Fed sudah memompa likuiditas ke sistem keuangan lebih dari 30% output perekonomian AS. Pemerintahnya juga memberikan stimulus hingga 26% dari total PDB. 

Langkah ini tidak hanya dilakukan di AS dan negara maju saja tetapi juga negara-negara berkembang. Kini mobilitas sudah membaik terutama di AS dan Eropa. Uang tak lagi mengendap di akun deposito perbankan. Masyarakat sudah berbelanja. 

Peningkatan likuiditas yang dibarengi dengan naiknya laju perpindahan uang (money velocity) mendorong terjadinya reflasi. April lalu tingkat inflasi di AS mencapai 4,2% (yoy), tertinggi dalam satu dekade terakhir. 

Apabila bank sentral tidak segera mengambil tindakan maka perekonomian AS akan overheat. Sebagai negara dengan size ekonomi terbesar di dunia maka dampaknya juga akan dirasakan oleh negara-negara lain. 

Namun stance bank sentral masih belum berubah. Untuk sementara waktu mereka dituntut untuk bisa mengambil kebijakan akomodatif yang pro growth & pro stability. Ini yang sulit karena pertumbuhan tidak selalu dibarengi dengan stabilitas. 

Menariknya, jika stabilitas tidak dijaga maka prospek pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan juga terancam. Ketika inflasi mulai merangkak naik, ekonomi masih belum pulih benar ke level pra pandemi. Tingkat pengangguran di AS masih tinggi. 

The Fed dan bank sentral lain juga menghadapi dilema. Pengetatan yang terlalu dini akan menimbulkan shock tetapi jika dibiarkan inflasi bisa liar karena selain dipengaruhi oleh interaksi permintaan dan pasokan, inflasi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis para pelaku ekonomi.

Ekspektasi inflasi yang tinggi juga menjadi pemicu utama devaluasi nilai tukar dan naiknya harga barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Perdebatan sengit di antara para ekonom soal perlunya khawatir akan inflasi masih terus berlanjut. 

Bagi yang kontra program QE The Fed dan bank sentral lain secara historis tidak berdampak pada peningkatan inflasi. Peningkatan inflasi juga disebabkan oleh fenomena low base effect

Namun bagi yang risau akan inflasi mereka beranggapan bahwa kondisi saat ini berbeda karena likuiditas yang berlimpah masuk ke sektor riil apalagi dengan adanya tensi geopolitik tinggi membuat rantai pasok global menjadi terdisrupsi. 

Halaman 2>>

Inflasi layaknya suhu tubuh. Ketika terlalu tinggi berbahaya, terlampau rendah pun membahayakan. Inflasi moderat yang mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi menjadi sasaran bank sentral di seluruh dunia. 

Persoalan sekarang terletak pada dua hal. Pertama adalah seberapa tinggi inflasi akan terjadi. Kedua adalah apakah hanya bersifat temporer atau persisten. Apabila inflasi naik tinggi tetapi bersifat temporer maka bisa dibilang masih aman-aman saja karena justru akan mengkompensasi rendahnya inflasi pada periode sebelumnya.

 

Namun jika inflasi yang tinggi dan bertahan dalam periode yang lama inilah yang akan membahayakan. Tak sedikit yang khawatir bahwa ekonomi AS akan kembali mengalami periode stagflasi (pertumbuhan rendah bahkan resesi, pengangguran dan inflasi tinggi). 

Inflasi yang tinggi dan bertahan lama akan memiliki dampak negatif pada para pelaku ekonomi baik pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat luas. Bagi masyarakat tingkat inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli. 

Melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pada kinerja keuangan korporasi lewat penurunan volume penjualan. Di sisi lain inflasi yang mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa juga membuat biaya input untuk aktivitas operasional serta ekspansi meningkat. Inflasi yang tinggi akan cenderung menggerus laba perusahaan. 

Laba yang anjlok akan membuat dividen yang disetorkan menjadi rendah. Valuasi perusahaan bakal turun. Harga sahamnya bakal terkoreksi. Inflasi yang tinggi saat ini benar-benar menjadi ancaman bagi pasar modal karena valuasi harga aset ekuitas terutama di negara maju sudah terlampau kemahalan. 

Inflasi yang tinggi juga menjadi downside risk bagi pemerintah. Kenaikan harga baik komoditas, barang setengah jadi maupun barang jadi akan turut membebani anggaran lewat dua jalur. Pertama adalah peningkatan ongkos belanja dan juga peningkatan ongkos untuk kebutuhan pembiayaan. 

Secara keseluruhan inflasi yang tinggi adalah penyakit bagi perekonomian. Saat ini AS masih menjadi sorotan utama soal inflasi meskipun fenomena ini juga terjadi di berbagai negara lain. 

Tingginya inflasi di AS akan berdampak bagi negara lain termasuk Indonesia. Ketika inflasi yang tinggi terjadi di AS dan daya beli masyarakatnya tergerus, maka permintaan terhadap barang dan jasa bisa menurun. Hal ini berarti kebutuhan impor ikut menurun.

Kinerja ekspor Indonesia bisa terpengaruh dan ujung-ujungnya output perekonomian Indonesia bisa ikut terdampak karena hubungan AS dan Indonesia tergolong dekat. 

Bagaimanapun juga dunia masih diliputi oleh risiko ketidakpastian yang menjadi downside risk paling jelas bagi para pelaku ekonomi siapapun itu. Ini seperti sebuah paradoks, bahwa yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. 


(twg/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nih, Satu Lagi Bukti RI Kayaknya Masih Resesi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular