
Moneter Masih Longgar, Fiskal Sudah Mau Diketatkan Nih!

Pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara yang kemudian digunakan untuk membiayai berbagai macam program pemerintah mulai dari yang sifatnya produktif seperti investasi untuk infrastruktur hingga konsumtif.
Peningkatan tarif pajak berarti pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan. Semasa dunia dilanda pagebluk Covid-19, penerimaan pajak mengalami shortfall. Sementara itu pemerintah ditekan untuk menggenjot belanjanya.
Defisit anggaran langsung bengkak. Defisit anggaran di AS tahun lalu diperkirakan mencapai lebih dari 10% PDB. Untuk kasus Indonesia yang biasanya dijaga di bawah 3% PDB tembus 6% PDB. Tahun ini defisit fiskal ditargetkan masih di atas normal di angka 5,7% PDB.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tengah defisit yang besar juga tak lepas dari tingginya tingkat utang. Rasio utang pemerintah terhadap PDB AS tembus 108% tahun 2020. Di Indonesia rasionya tembus 38,5% PDB. Padahal setahun sebelumnya hanya di angka 30%.
Bagi negara-negara reserve currency seperti AS saja utang yang menggunung menjadi risiko bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Apalagi bagi Indonesia yang masuk jajaran soft currency country.
Peningkatan utang pemerintah di dalam negeri yang terlalu besar melalui penerbitan obligasi hanya akan menyerap dana masyarakat secara berlebih dan memunculkan fenomena crowding out.
Meminjam keluar negeri dengan penerbitan global bond juga tak bisa sembarangan karena utang dalam denominasi asing cenderung sulit untuk dikontrol. Belum lagi penyakit kronis Indonesia yang selama ini tak tahan terhadap adanya capital outflow. Depresiasi rupiah hanya akan menambah beban untuk mencicil bunga.
Di sisi lain pemerintah tak bisa terus menerus mengandalkan Bank Indonesia (BI) untuk ikut serta menambal defisit anggaran lewat skema buden sharing. Tak ada yang menyangkal kondisi sekarang ini memang sulit.
Para pengambil kebijakan dituntut kreatif untuk mencari formulasi yang tepat tanpa menumbalkan kepentingan jangka panjang. Namun apakah kebijakan peningkatan tarif pajak sudah tepat.
Sebelum menyimpulkan ke arah sana balik lagi harus kembali fokus saat ini itu apa? Apabila fokusnya adalah pemulihan ekonomi, peningkatan tarif PPN tentu saja punya konsekuensi negatif jika dilakukan saat perekonomian belum benar-benar pulih. Apalagi daya beli masyarakat juga masih terganggu yang tercermin dari tingkat inflasi inti yang terus melambat.
Lucunya lagi adalah di saat pajak yang dikenakan masyarakat atas berbagai bentuk transaksi ditingkatkan, pemerintah juga mewacanakan adanya kebijakan pengampunan pajak. Jelas ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Sebenarnya keberpihakan pemerintah itu di mana?
Kalau di AS jelas, para crazy rich ditarget untuk membayar pajak lebih tinggi. Kalau di Indonesia malah cenderung sebaliknya. Kalau dilihat ekonomi Indonesia belum bisa kembali tumbuh seperti sebelum Covid-19, rasanya kebijakan peningkatan pajak PPN di 2022 masih terlalu dini dan bisa menjadi kontraproduktif untuk menggenjot perekonomian.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]