Moneter Masih Longgar, Fiskal Sudah Mau Diketatkan Nih!

Tirta, CNBC Indonesia
25 May 2021 11:19
Presidden AS Joe Biden

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dan Amerika Serikat (AS) punya wacana kebijakan fiskal yang mirip yaitu dalam hal menaikkan tarif pajak. Meskipun jenis pajak yang bakal ditingkatkan berbeda, tetapi hal ini menarik untuk dibahas. 

Rencana untuk menaikkan pajak memang kontroversial. Apalagi di saat perekonomian masih diliputi risiko resesi seperti sekarang ini. Wacana yang tengah digaungkan oleh Janet Yellen dan Sri Mulyani Indrawati tersebut seperti biasa menuai beragam respons. Ada yang pro, tentu saja ada juga yang kontra.

Pasalnya saat kebijakan moneter kemungkinan masih berada pada stance dovish-nya untuk memulihkan perekonomian, kebijakan fiskal yang seharusnya juga menjadi instrumen untuk mendorong pemulihan lewat countercyclical policy measures justru terlihat berubah haluan lebih dulu. 

Padahal dalam berbagai kesempatan, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell masih menunjukkan sikap lunak ketika ditanya seputar arah kebijakan moneter ke depan. Meskipun inflasi mulai meningkat tajam, tingkat pengangguran terus menurun dan dalam rapat komite pengambil kebijakan akhir April lalu rencana tapering sudah mulai diwacanakan, Powell keukeuh menegaskan bahwa ekonomi masih rapuh dan butuh uluran tangan baik dari sisi moneter maupun fiskal. 

Sampai di sini sikap The Fed dan pemerintah AS terlihat kontradiktif memang. Hingga artikel ini ditulis, The Fed masih menahan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) di kisaran nol persen. 


Program pembelian aset keuangan juga tetap dilanjutkan dengan laju US$ 120 miliar per bulan. Aset The Fed yang tercatat di neraca juga terus menggembung mencapai hampir 35% dari total output perekonomian (PDB) AS. 

Kabar cukup mengejutkan ketika Biden menjelaskan proposalnya untuk menaikkan pajak korporasi yang dipangkas besar-besaran era Presiden Trump. Sebelum mantan taipan properti AS itu menjabat, pajak korporasi di AS 35%. Kemudian oleh Trump diturunkan menjadi 26%. Kini di tangan Biden rencananya akan dinaikkan ke 28%.

Tujuannya tak lain dan tak bukan untuk membiayai rencana infrastruktur Biden yang ambisius. Selain pajak untuk korporasi, Biden juga berencana untuk menaikkan pajak penghasilan terutama bagi mereka top 1% masyarakat kaya AS serta pengenaan pajak capital gain bagi mereka dengan pendapatan lebih dari US$ 1 juta. 

Rencana yang kedua bertujuan guna membiayai anggaran pendidikan, perlindungan anak serta hal lain. Total uang yang ditargetkan terkumpul melalui kebijakan austherity tersebut mencapai hampir US$ 4 triliun atau seperlima dari PDB AS. 

Di Indonesia juga sama, belum lama ini sang Menkeu mulai mewacanakan untuk menaikkan pajak. Berbeda dengan AS yang berupaya meningkatkan pajak penghasilan, di dalam negeri targetnya adalah pajak pertambahan nilai (PPN). 

Dalihnya adalah PPN Indonesia termasuk yang paling rendah dan sederhana di dunia. Memang benar dengan tingkat PPN 10%, Indonesia menjadi kelompok negara dengan tingkat PPN yang rendah. Namun jika tujuannya hanya karena hal tersebut tentu urgensinya sangat dipertanyakan. 

Pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara yang kemudian digunakan untuk membiayai berbagai macam program pemerintah mulai dari yang sifatnya produktif seperti investasi untuk infrastruktur hingga konsumtif. 

Peningkatan tarif pajak berarti pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan. Semasa dunia dilanda pagebluk Covid-19, penerimaan pajak mengalami shortfall. Sementara itu pemerintah ditekan untuk menggenjot belanjanya. 

Defisit anggaran langsung bengkak. Defisit anggaran di AS tahun lalu diperkirakan mencapai lebih dari 10% PDB. Untuk kasus Indonesia yang biasanya dijaga di bawah 3% PDB tembus 6% PDB. Tahun ini defisit fiskal ditargetkan masih di atas normal di angka 5,7% PDB. 

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tengah defisit yang besar juga tak lepas dari tingginya tingkat utang. Rasio utang pemerintah terhadap PDB AS tembus 108% tahun 2020. Di Indonesia rasionya tembus 38,5% PDB. Padahal setahun sebelumnya hanya di angka 30%.

Bagi negara-negara reserve currency seperti AS saja utang yang menggunung menjadi risiko bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Apalagi bagi Indonesia yang masuk jajaran soft currency country.

Peningkatan utang pemerintah di dalam negeri yang terlalu besar melalui penerbitan obligasi hanya akan menyerap dana masyarakat secara berlebih dan memunculkan fenomena crowding out. 

Meminjam keluar negeri dengan penerbitan global bond juga tak bisa sembarangan karena utang dalam denominasi asing cenderung sulit untuk dikontrol. Belum lagi penyakit kronis Indonesia yang selama ini tak tahan terhadap adanya capital outflow. Depresiasi rupiah hanya akan menambah beban untuk mencicil bunga.

Di sisi lain pemerintah tak bisa terus menerus mengandalkan Bank Indonesia (BI) untuk ikut serta menambal defisit anggaran lewat skema buden sharing. Tak ada yang menyangkal kondisi sekarang ini memang sulit.

Para pengambil kebijakan dituntut kreatif untuk mencari formulasi yang tepat tanpa menumbalkan kepentingan jangka panjang. Namun apakah kebijakan peningkatan tarif pajak sudah tepat. 

Sebelum menyimpulkan ke arah sana balik lagi harus kembali fokus saat ini itu apa? Apabila fokusnya adalah pemulihan ekonomi, peningkatan tarif PPN tentu saja punya konsekuensi negatif jika dilakukan saat perekonomian belum benar-benar pulih. Apalagi daya beli masyarakat juga masih terganggu yang tercermin dari tingkat inflasi inti yang terus melambat. 

Lucunya lagi adalah di saat pajak yang dikenakan masyarakat atas berbagai bentuk transaksi ditingkatkan, pemerintah juga mewacanakan adanya kebijakan pengampunan pajak. Jelas ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Sebenarnya keberpihakan pemerintah itu di mana?

Kalau di AS jelas, para crazy rich ditarget untuk membayar pajak lebih tinggi. Kalau di Indonesia malah cenderung sebaliknya. Kalau dilihat ekonomi Indonesia belum bisa kembali tumbuh seperti sebelum Covid-19, rasanya kebijakan peningkatan pajak PPN di 2022 masih terlalu dini dan bisa menjadi kontraproduktif untuk menggenjot perekonomian. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PPN 12% Cuma Barang Mewah, Pengusaha Happy Prabowo Selamatkan Warga RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular