Pro Kontra Rencana Jokowi: PPN Naik, Ubah PPh & Tax Amnesty

Ekonom Senior Dradjad Wibowo meminta agar rencana ini betul-betul dikaji dengan matang dan komprehensif. Tujuan diberlakukannya tax amnesty, kata dia, harus lebih jelas dan terukur.
"Apakah ini memperbaiki basis pajak kita, sehingga membantu pemulihan ekonomi pasca pandemi atau justru mengganggu basis pajak kita," kata Dradjad saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (21/5/2021).
Dradjad memandang, wajar apabila pemerintah ingin kembali menerapkan kebijakan tersebut. Apalagi berkaca dari sejarah, banyak negara yang berulang kali mengeksekusi kebijakan pengampunan pajak.
"Ketika satu negara sudah melakukan tax amnesty, biasanya dia akan melakukan lagi. Itu pengalaman di berbagai negara," katanya.
Wacana untuk kembali memberlakukan tax amnesty jilid kedua, menurut Drajad tak lepas dari hasil pelaksanaan tax amnesty pada tahap pertama. Kala itu, kata Dradjad, pemerintah terbukti tak berhasil meningkatkan basis pajak.
"Alasan saya terbukti, tax amnesty tidak akan memperbaiki basis pajak," tegasnya.
CNBC Indonesia mencatat sejak 2017 hingga sebelum pandemi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target.
- 2014: Realisasi Rp 985 triliun atau 91,9% dari target Rp 1.072 triliun. Shortfall Rp 87 triliun.
- 2015: Realisasi Rp 1.055 triliun atau 81,5% dari target Rp 1.294 triliun. Shortfall Rp 239 triliun.
- 2016: Realisasi Rp 1.283 triliun atau 83,4% dari target Rp 1.539 triliun. Shortfall Rp 256 triliun.
- 2017: Realisasi Rp 1.147 triliun atau 89,4% dari target Rp 1.283 triliun. Shortfall Rp 136 triliun.
- 2018: Realisasi Rp 1.315,9 triliun atau 92% dari target Rp 1.424 triliun. Shortfall Rp 108 triliun.
Data dari deklarasi juga tak mampu dimanfaatkan dengan baik sehingga rasio pajak malah melorot.
"Periode 2018-2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3%. Rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB bukannya naik malah melorot terus. Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty," ungkap ekonom INDEF Bhima Yudhistira kepada CNBC Indonesia (21/5/2021).
Ketidakmampuan DJP dalam memanfaatkan data semakin terlihat, padahal ada Pertukaran Pajak antar Negara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga Fincen Papers.
"Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal," kata Bhima melanjutkan.
Ada beberapa risiko yang dimungkinkan terjadi menurut Bhima bila memaksakan tax amnesty jilid II. Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan kehilangan kepercayaan publik. Dulu disebutkan Presiden Jokowi, tax amnesty tidak akan terulang.
"Dengan adanya tax amnesty jilid ke II, psikologi pembayar pajak pastinya akan menunggu tax amnesty jilid berikutnya. Ya buat apa patuh pajak, pasti ada tax amnesty berikutnya. Ini blunder ke penerimaan negara," jelas Bhima.
Bhima juga beranggapan pemberian tax amnesty rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara, atas nama pengampunan pajak perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uang ke Indonesia. Terlebih saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi Covid-19.
Halaman 6>>