Kenaikan PPN Bikin Jurang Si Kaya dan Si Miskin Makin Lebar!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
11 May 2021 20:24
Ilustrasi Kemiskinan (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Kemiskinan (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia harus mewaspadai adanya masalah ketimpangan sosial-ekonomi akibat pandemi Covid-19. Melihat dari data Bank Dunia 2020, GDP per kapita Indonesia juga masih masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country).

Seperti diketahui, GDP per kapita Indonesia pada 2020 sebesar US$ 4.050, turun jika dibandingkan dengan GDP per kapita pada tahun 2019 yang mencapai US$ 4.135.

Kendati demikian, GDP per kapita di Indonesia tidak merata. Sehingga ketimpangan antar penduduk di Indonesia kian melebar. Hal ini terlihat dari rasio gini yang meningkat.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada September 2020 gini ratio meningkat menjadi 0,385 dari bulan Maret 2020 yang sebesar 0,381.

Sejumlah kalangan khawatir, adanya wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun depan, akan membuat jurang si kaya dan si miskin makin melebar. Pasalnya, sampai saat ini ekonomi belum juga pulih dari pandemi Covid-19.

Ketika tarif PPN dinaikkan, maka akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang kebutuhan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap daya beli masyarakat yang akan berkurang.

"Sebagai informasi PPN ini dibayarkan oleh konsumen, dibebankan kepada konsumen, maka harga barang itu akan semakin menekan daya beli yang sudah tertekan, semakin tertekan lagi. Terjadi kenaikan inflasi yang sebetulnya semu. Ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," jelas Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim dalam diskusi virtual, Senin (11/5/2021).

Tidak menutup kemungkinan, masyarakat miskin akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Pemerintah, kata Rizal harusnya memberikan perlindungan bukan justru membebani.

Menurutnya masih banyak saluran penerimaan negara yang bisa dioptimalkan ketimbang menaikkan tarif PPN.

"Jadi masyarakat saat ini sedang menghadapi kompleksitas masalah karena pandemi. Larinya ke masalah ekonomi. Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan ekonomi sosial di tengah masyarakat saat ini," kata Rizal melanjutkan.

Jika sudah begitu, penyerapan tenaga kerja otomatis akan menurun. "Utilisasi dan penjualan melemah, otomatis akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja, akan turun," imbuh Peneliti Center of Industry Trade, and Investment (CITI) INDEF, Ahmad Heri Firdaus pada saat yang sama.

Semakin sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan pokoknya, juga menurut Direktur Eksekutif Indef Ahmad Tauhid tercermin dari perkembangan GDP perkapita di Indonesia sejak 2019 yang stagnan.

Bahkan stagnasi GDP per kapita itu kemungkinan akan berlanjut hingga 2022.

"Kita (GDP perkapita) masih berada di sekitar US$ 4.300 sampai US$ 4.400 sampai tahun 2022, tidak ada peningkatan signifikan dari kesejahteraan kita," jelas Tauhid dalam kesempatan yang sama.

"Buat apa dibebankan dari PPN ini, saya kira ini jadi catatan. Kalau dengan berbagai kondisi, 2022 sangat tidak mungkin dilakukan, karena kesejahteraan masih relatif turun," ujar Tauhid lagi.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tarif PPN Bakal Naik, Khusus Barang Mewah Bisa Lebih Tinggi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular