Petronas-Total Tutup SPBU di RI, Masih Cuankah Bisnis Ini?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
11 May 2021 16:05
foto : REUTERS/Bazuki
Foto: REUTERS/Bazuki

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua perusahaan migas asing telah undur diri dari bisnis Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Indonesia. Belum lama ini PT Total Oil Indonesia, unit bisnis perusahaan migas Prancis Total di Indonesia, memutuskan untuk menutup semua bisnis SPBU sejak akhir 2020.

Keputusan Total ini menyusul perusahaan migas asal Malaysia Petronas yang telah memutuskan menutup bisnis SPBU-nya lebih dahulu pada 2012 lalu. Melihat kondisi ini, apakah bisnis SPBU di RI masih prospektif dan menguntungkan?

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Rachmad Muhammadiyah mengatakan, persentase margin dari bisnis SPBU memang kecil.

Meski demikian, menurutnya omset penjualan SPBU di Indonesia lumayan besar. Oleh karena itu, menurutnya ini menjadi alasan perusahaan migas asing lainnya memutuskan masih bertahan di bisnis SPBU di Tanah Air.

"Secara persentase besaran margin memang kecil, tapi relatif SPBU di Indonesia omset penjualan BBM-nya lumayan besar," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (11/05/2021).

Lebih lanjut dia mengatakan, jika dibandingkan dengan Amerika dan Eropa, margin penjualan BBM di dua benua itu memang lebih besar. Namun, omset penjualannya relatif lebih kecil dibandingkan bisnis SPBU di Indonesia.

"Di Amerika dan Eropa, margin lebih besar, tapi omset penjualannya relatif lebih kecil dan ada pendapatan tambahan dari store," ujarnya.

Sebelumnya, Pri Agung Rakhmanto, ahli ekonomi energi dan perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, berpandangan setidaknya ada lima faktor yang menentukan perkembangan dan keberlangsungan bisnis SPBU di Indonesia.

Pertama, kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dalam hal ini khususnya untuk harga bensin dan biodiesel yang diatur oleh pemerintah (administered price), seperti solar dan bensin RON 88 atau dikenal dengan merek dagang Premium di Pertamina.

Kedua, mengenai kebijakan distribusi BBM, dalam hal ini dikenal adanya BBM penugasan dari pemerintah kepada badan usaha.

"Ketiga, volume dan distribusi dari market. Di kita, secara volume nasional cukup besar, mencapai 75 juta kilo liter (kl) per tahun, dengan distribusi yang terkonsentrasi di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) sekitar 50%, Sumatera sekitar 25%-30%," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (07/05/2021).

Lalu faktor keempat, ketersediaan infrastruktur penunjang seperti tangki penyimpanan, jaringan, dan jalur logistik dan distribusi. Dan terakhir, citra merek dagang (brand image) dan loyalitas konsumen menurutnya juga menjadi faktor pemicu berkembang atau tidaknya bisnis SPBU di Tanah Air.

Dia berpandangan, tidak mudah bagi perusahaan swasta atau pemain bisnis retail BBM non Pertamina untuk bisa bertahan dan berkembang karena harus menghadapi kelima faktor di atas. Secara umum, lanjutnya, faktor-faktor tersebut lebih menyokong ke bisnis Pertamina.

"Dalam arti, Pertamina sebagai tuan rumah yang memang sudah established (mapan) memiliki keunggulan dalam banyak hal di kelima faktor di atas maupun di dalam adaptasinya terhadap perubahan-perubahan yang ada," jelasnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Exxon, Shell, Total Diminta Bangun SPBU di Daerah Tertinggal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular