Jakarta, CNBC Indonesia - Suhu tubuh perekonomian dunia alias inflasi agaknya bakal jauh lebih hangat di tahun ini. Kenaikan harga komoditas bakal membuat inflasi terkerek naik.
Apakah ini pertanda bahwa kebijakan moneter akan berubah arah dari dovish menjadi hawkish? Tunggu dulu!
Tahun 2021 diramal bakal menjadi periode commodity supercycle yang ditandai dengan naiknya harga komoditas dalam jangka panjang. Sejak pelonggaran lockdown dilakukan paruh kedua tahun lalu, harga berbagai komoditas merangkak naik.
Hampir semua jenis komoditas harganya melambung. Harga komoditas energi seperti batu bara naik 37% dibanding periode yang sama tahun lalu. Harga nikel naik 38%. Harga gas alam melesat lebih dari 50% dan minyak mentah naik hampir 100%.
Kenaikan harga batu bara dipicu oleh ketatnya pasokan domestik China yang membuat harganya melambung di saat permintaan untuk konsumsi listrik meningkat. Kondisi cuaca yang ekstrem juga membuat produksi dan distribusi terhambat.
Harga nikel naik karena ada pergeseran tren dan hype mobil listrik. Nikel sendiri digunakan sebagai salah satu komponen untuk pembuatan baterai mobil listrik. Seiring dengan peningkatan penjualan mobil listrik, permintaan nikel juga ikut terkerek membuat pasokannya semakin berkurang.
Apalagi Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar sudah memberlakukan moratorium ekspor bijih nikel sejak tahun lalu, atau dua tahun lebih awal dari target yang dipatok.
Harga minyak pun sudah kembali pulih ke level sebelum pandemi. Upaya para kartel yang tergabung dalam OPEC+ untuk memangkas produksi terbukti berhasil mendongkrak harga.
Tidak hanya komoditas tambang dan energi saja yang harganya beterbangan. Harga komoditas pangan yang notabene dipasok dari pertanian dan peternakan juga mengalami kenaikan.
Indeks Pangan Dunia versi FAO di bulan Maret lalu lanjut reli sehingga tercatat mengalami kenaikan dalam 10 bulan beruntun yang menyebabkan harga pangan internasional melambung ke level tertinggi sejak Juni 2014.
Dalam laporannya, organisasi internasional tersebut menjelaskan kenaikan harga pangan didukung oleh melesatnya harga minyak nabati, daging dan susu. Sementara itu harga biji-bijian dan gula cenderung melemah.
Kemudian yang tak kalah fantastisnya adalah harga kayu yang naik lebih dari 350% dalam setahun terakhir. Masalah kurangnya tenaga kerja, kondisi cuaca basah di tengah naiknya permintaan membuat harganya melambung. Di tahun ini saja harga kayu sudah naik hampir 70%.
Saat pandemi Covid-19 melanda, harga komoditas berjatuhan. Para produsen pun memangkas output untuk mendongkrak harga. Adanya pembatasan mobilitas publik juga selain membuat jalur distribusi terganggu, ketersediaan tenaga kerja di pertambangan maupun perkebunan menurun.
Di negara yang mengandalkan tenaga kerja asing untuk menggarap sektor perkebunan sawit seperti Malaysia, pembatasan mobilitas berakibat pada kekurangan tenaga kerja, sehingga aktivitas panen menjadi terhambat dan output turun.
Seiring dengan berjalannya vaksinasi secara masif dan kebijakan makroekonomi yang akomodatif diberlakukan secara global, permintaan berangsur membaik. Namun dari sisi output tidak bisa langsung digeber sesuai dengan permintaan. Adanya gap ini membuat harga melesat.
Halaman Selanjutnya --> Suhu Tubuh Perekonomian Mulai Panas
Seperti diketahui bersama, komoditas merupakan salah satu bahan dasar (raw materials) yang merupakan bahan baku bagi berbagai produk setengah jadi maupun produk jadi.
Ketika harga dari bahan bakunya naik, maka produsen akan cenderung meneruskan ke konsumen agar marjin laba tidak tergerus. Sehingga pada akhirnya kenaikan biaya input juga akan berpengaruh terhadap harga yang diterima konsumen akhir.
Fenomena naiknya harga barang dan jasa secara luas dalam suatu perekonomian ini dikenal dengan sebutan inflasi atau para ekonom lebih suka menyebutnya sebagai fenomena turunnya nilai suatu mata uang terhadap barang dan jasa.
Jika dicermati dengan seksama, inflasi memang terlihat mulai meningkat. Di negara-negara G20, tingkat inflasi di bulan Maret tahun 2021 lebih tinggi dibanding inflasi di akhir tahun.
Hanya Indonesia dan Arab Saudi saja yang justru mengalami perlambatan. Perlambatan inflasi di Indonesia diduga diakibatkan oleh faktor musiman (siklikal). Inflasi biasanya memanas di akhir tahun karena bertepatan dengan libur nasional Hari Raya Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Inflasi yang meningkat tak terlepas dari adanya kombinasi semakin agresifnya vaksinasi, kelanjutan stimulus fiskal dan kebijakan moneter yang longgar. Sudah lebih dari 1 miliar dosis vaksin telah disuntikkan ke penduduk bumi.
Hingga Maret 2021, nilai median stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah negara-negara anggota G20 mencapai lebih dari 11% output perekonomiannya dengan Jepang yang paling besar hingga lebih dari 50%.
Stimulus fiskal diberikan dalam berbagai bentuk. Mulai dari relaksasi pajak, pemberian bantuan sosial berupa bantuan langsung tunai, bahkan sampai keringanan kredit pun diberikan.
Pemerintah juga meningkatkan belanja meskipun pendapatan dari pajak belum akan pulih di tahun ini. Defisit anggaran masih akan besar. Namun tak ada jalan lain. Belanja negara juga diprioritaskan untuk program yang berdampak signifikan seperti untuk kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Kemudian dari sisi moneter, pemangkasan suku bunga acuan yang agresif dan injeksi likuiditas ke perekonomian pada akhirnya membuat suplai uang yang beredar di masyarakat meningkat.
Tidak seperti saat lockdown, masyarakat sekarang sudah lebih berani membelanjakan uangnya dan tidak menabung atau membeli aset keuangan yang tak langsung beririsan dengan sektor riil.
Pada akhirnya program demand creation otoritas fiskal dan peningkatan likuiditas oleh bank sentral akan meningkatkan suhu perekonomian. Sehingga ketika sekarang inflasi sudah mulai meningkat adalah sebuah kewajaran.
Halaman Selanjutnya --> Inflasi Bakal Tinggi Bank Sentral Siap Hawkish?
Namun stimulus fiskal dan moneter kali ini dari segi ukuran sangatlah besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak pelaku ekonomi yang memperkirakan inflasi bakal naik tinggi. Apalagi jika roda ekonomi sudah berputar mulai normal kembali.
Pelaku pasar yang mengantisipasi kenaikan inflasi meresponsnya dengan meminta yield (imbal hasil) yang tinggi untuk memberikan kompensasi atas devaluasi dolar yang mereka pegang. Alhasil yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang menjadi acuan naik dari sebelumnya <1% di akhir tahun kini mencapai 1,6%.
Menteri Keuangan AS yang juga mantan bos The Fed yakni Jenet Yellen juga menyinggung soal inflasi. Menurutnya suku bunga harus naik agar perekonomian tidak mengalami overheating.
"Mungkin suku bunga harus naik untuk memastikan bahwa ekonomi kita tidak overheating," kata Yellen dalam percakapan yang direkam sebelumnya dengan The Atlantic, dikutip CNBC Internasional.
Namun jika melihat laporan kebijakan moneter The Fed yang terbaru, para komite pengambil kebijakan yang tergabung dalam FOMC cenderung tak berniat untuk menaikkan suku bunga acuan setidaknya sampai dua tahun ke depan.
 Sumber : The Federal Reserves Monetary Policy Report. Dot Plot of FOMC Estimate on When to Hike Interest Rates |
Lagipula jalur pengetatan moneternya juga bisa lewat dua cara tergantung mana yang mau ditempuh lebih dulu. Bisa lewat tapering di mana The Fed akan secara perlahan mereduksi ukuran neraca (balance sheet) bisa juga menaikkan suku bunga acuan. Atau malah dua hal tersebut dilakukan secara simultan.
Namun dalam berbagai kesempatan sang bos The Fed Jerome Powell senantiasa menegaskan bahwa tapering adalah kebijakan yang prematur saat ini. The Fed mengakui inflasi akan naik dan dibiarkan tinggi dalam waktu temporer untuk mengkompensasi penurunan inflasi yang terjadi selama pandemi.
The Fed akan terus memberikan guidance dan mengkomunikasikannya secara jelas ke para pelaku ekonomi setiap kebijakannya. Untuk saat ini The Fed fokus pada dual mandate-nya yaitu price stability dan maximum employment.
Dari sisi harga, inflasi sudah mulai tampak. Namun sepertinya The Fed tak terlalu khawatir karena framework kebijakan moneter yang dipakai sekarang sedikit di adjust, yang tadinya inflation targeting di angka 2%, kini berubah jadi inflation averaging. Asalkan rata-ratanya masih 2% tidak apa-apa. Kurang lebih begitu yang dimaksud The Fed.
Bank sentral adidaya tersebut kini terlihat sangat concern dengan kondisi tenaga kerja di AS. Kalau dilihat angka pengangguran dan klaim tunjangan pengangguran sudah turun. Namun belum pulih ke level pra pandemi. Ini yang agaknya susah membuat The Fed langsung pasang mode hawkish begitu saja.
Bagaimanapun juga The Fed adalah kiblat kebijakan moneter global. Apa yang dilakukan The Fed juga akan direspons oleh bank sentral lain. Apabila inflasi naik tinggi sementara angka pengangguran masih tinggi dan pertumbuhan ekonomi tetap rendah atau yang dikenal dengan stagflation, inilah yang berbahaya dan membuat pusing para pengambil kebijakan.
Untuk saat ini The Fed belum mensinyalkan adanya perubahan arah kebijakannya. Sehingga masih ada peluang dolar mengalami devaluasi dan mata uang negara berkembang masih bisa tertopang sehingga fenomena imported inflation walau ada risikonya masih terbilang tidak terlalu besar dan sangat tergantung sektoral serta struktur perekonomian suatu negara itu sendiri.
TIM RISET CNBC INDONESIA