
Junta Militer Masih Beringas, 8 Warga Myanmar Tewas

Jakarta, CNBC Indonesia - Ribuan pengunjuk rasa anti-kudeta di berbagai daerah di Myanmar kembali turun ke jalan untuk menekan junta militer. Namun, aksi unjuk rasa yang berlangsung pada Minggu (2/5/2021) itu kembali memakan korban.
Dilansir Myanmar Now, delapan orang tewas dalam sehari. Padahal 24 April lalu, junta militer telah berjanji akan menghentikan kekerasan pada pengunjuk rasa dalam KTT ASEAN di Jakarta.
Setidaknya, tiga orang tewas di pusat kota Wetlet dan dua orang tewas di berbagai kota di negara bagian Shan di timur laut. Laporan Grup Berita Kachin mengatakan satu orang tewas dan sedikitnya 20 orang terluka di kota pertambangan giok utara Hpakant.
Di Negara Bagian Shan utara, dua orang dilaporkan tewas selama aksi protes dilakukan oleh pasukan di Hsipaw dan Nawnghkio. Sementara empat orang ditangkap di Kotapraja Chanayethazan di Mandalay.
Media lokal itu menyebut militer menembakkan peluru karet, peluru tajam, dan granat ke arah warga sipil. Ini guna menghentikan demonstrasi dan meneror mereka yang berpartisipasi.
Sebelumnya, protes pada Minggu dikoordinasikan dengan komunitas Myanmar di seluruh dunia untuk menandai "revolusi musim semi global". Demonstrasi tak hanya dilakukan di kota-kota di negara dengan nama lain Burma itu, tapi juga Manchester (Inggris) lalu Milan (Italia) hingga Taipei (Taiwan).
"Guncang dunia dengan suara persatuan rakyat Myanmar," kata penyelenggara dalam sebuah pernyataan, dikutip dari South China Morning Post (SCMP).
Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 759 pengunjuk rasa sejak kudeta 1 Februari. Tetapi Reuters tidak dapat mengkonfirmasi jumlah korban.
Militer, yang memerintah selama hampir 50 tahun hingga meluncurkan proses reformasi tentatif satu dekade lalu, mengakui pada pertengahan April ada kematian 248 pengunjuk rasa. Junta berdalih mereka terbunuh setelah memulai kekerasan.
Myanmar dilanda kerusuhan tak berujung sejak 1 Februari 2021. Saat itu, militer menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan politisi pendukungnya, mengumumkan darurat, dan menunjuk presiden sementara.
Sejak itu unjuk rasa pro demokrasi bergulir. Sanksi internasional sudah diberikan sejumlah negara tapi tak mampu mengakhiri kekerasan.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gawat! Negara Tetangga RI Ini Terancam Perang Saudara