
Butuh Investasi Rp2.000 T Hingga 2030, Ini Isu Besar Migas RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia membutuhkan investasi yang tak main-main nilainya, yakni hingga US$ 187 miliar atau sekitar Rp 2.711 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) untuk mewujudkan target produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional hingga 2030 mendatang.
Pemerintah menargetkan produksi minyak mencapai 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.
Target ini tentunya menjadi tantangan bagi industri hulu migas. Pasalnya, hingga kuartal I 2021, produksi minyak rata-rata baru sebesar 679,5 ribu bph dan produksi gas 6.748 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, besarnya investasi yang dibutuhkan, tentunya mengandung risiko yang tinggi. Di sisi lain, persaingan antarnegara untuk menarik investasi dari raksasa migas dunia kini juga semakin meningkat.
Oleh karena itu, menurutnya diperlukan sinergi dan kolaborasi semua pemangku kepentingan agar target ini bisa terwujud.
"Diperlukan sinergi dan kolaborasi dari semua masyarakat untuk mencapai target produksi migas ini," ungkapnya dalam webinar SKK Migas, Rabu (28/04/2021).
Dia pun membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi industri hulu migas nasional saat ini, antara lain rumitnya proses perizinan, tumpang tindih peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, rezim fiskal, ketidaktersediaan data, hambatan di daerah operasi, kendala akuisisi lahan, proses monetisasi migas yang semakin lama, hingga ketakutan dalam mengambil keputusan atau adanya kriminalisasi kebijakan.
"Agar dapat mengoptimalkan hulu migas, terdapat beberapa tantangan seperti rumitnya perizinan, tumpang tindih peraturan, dan sebagainya," ujarnya.
Untuk itu, dia mengatakan pihaknya berharap industri migas ada kepastian hukum, ketersediaan dan keterbukaan data, fleksibilitas sistem fiskal, sistem perpajakan bersaing, dan insentif serta pinalti.
"Pemerintah menargetkan ketersediaan data tuntas di 2024," imbuhnya.
Taslim Yunus, Sekretaris SKK Migas, turut memaparkan tantangan industri hulu migas saat ini. Dengan adanya pandemi Covid-19 dan anjloknya harga minyak pada tahun lalu menurutnya membuat tantangan industri migas global semakin berat di era new normal ini.
Pada 2020 sejumlah raksasa migas dunia pun memangkas anggaran investasinya, antara lain ExxonMobil memangkas 30% biaya investasinya, Shell dan Chevron memotong investasi 20%, BP dan ENI mengurangi hingga 25%.
Kondisi ini juga berdampak pada rencana investasi ke depannya. Pada 2020-2025 investasi migas dunia diperkirakan turun tajam sebesar US$ 500 miliar, di mana Asia Pasifik turun US$ 64 miliar atau 13% dari total penurunan.
"Dampaknya, porsi investasi yang masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia akan semakin kecil," imbuhnya.
Oleh karena itu, menurutnya perusahaan migas mau tidak mau harus beradaptasi menghadapi kondisi yang penuh tantangan saat ini.
Adaptasi yang dilakukan perusahaan migas saat ini menurutnya antara lain mengutamakan efisiensi modal dan tingkat pengembalian modal (Internal Rate of Return/ IRR) yang tinggi, menjalankan industri migas berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik, mengalihkan fokus kepada gas dan energi terbarukan, serta mengurangi dan menunda aktivitas eksplorasi.
Namun demikian, imbuhnya, masih banyaknya cekungan hidrokarbon di Tanah Air yang belum dibor atau bahkan belum diproduksi, bisa menjadi sumber pengembangan migas dan menjadi potensi untuk menarik investasi ke depannya.
"Ke depan Indonesia Timur akan menjadi tujuan potensial. Kita lihat eksplorasi yang masih masif di sana bisa menghasilkan, bisa diproduksi," imbuhnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Berisiko Tinggi Alami Tumpahan Minyak dari Kegiatan Migas
