
Bernasib Seperti KFC, Ada Ribuan Waralaba 'Berdarah-darah'

Jakarta, CNBC Indonesia - Bisnis restoran cepat saji menjadi salah satu sektor yang paling kena terjangan ombak pandemi Covid-19. Sekelas KFC pun ikut terkena dampak yang sangat kuat, bahkan pekerjanya sempat melakukan aksi pada 12 April lalu karena menganggap perusahaan tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Teranyar, Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) PT Fast Food Indonesia Tbk menyebut perusahaan sudah mulai merespon aksi tersebut. Namun, ternyata belum semua terealisasi, termasuk isu soal THR 2021.
"Soal tuntutan belum ada. Soal upah dan jam kerja normal sudah acc (diterima) manajemen," kata Koordinator SPBI Anthony Matondang, kepada CNBC Indonesia, Minggu (18/4/2021).
Sebelumnya, tuntutan dari SPBI adalah PT Fast Food Indonesia Tbk dijelaskan pada April 2020 lalu perusahaan mengeluarkan kebijakan pemotongan dan penahanan upah. Bahkan, tunjangan hari raya (THR) juga tidak dibayarkan dengan ketentuan perjanjian kerja bersama (PKB).
Akibat dari kebijakan ini, sebagian pekerja KFC mendapatkan upah di bawah upah minimum kota atau kabupaten tahun 2020.
Selain itu, pemilik waralaba tunggal untuk merek KFC ini juga mengeluarkan kebijakan penundaan pembayaran tunjangan kelahiran, kematian, pernikahan, dan penghargaan masa kerja.
Anthony menjelaskan pasca aksi yang dilakukan, manajemen KFC langsung mengeluarkan dua surat baru terkait upah dan jam kerja. Juga surat mengenai masa yang ikut aksi harus menjalani tes PCR dengan dengan biaya sendiri ketika masuk bekerja, atau berujung PHK kalau tidak bisa menunjukkan. Hal ini menjadi tekanan bagi pekerja apalagi biaya PCR tak murah.
"Soal PCR sudah bisa di-reimburse, awalnya biaya PCR harus sendiri/mandiri. Karena laporan kita ke Dirjen Binwasnaker dan pemberitaan media akhirnya bisa di-reimburse," jelasnya.
Sementara ada dua tuntutan lainnya yang belum di selesaikan. Anthony menjelaskan yakni soal tunjangan hari raya (THR) juga kenaikan upah staff hingga tunjangan dan penghargaan masa kerja.
"Soal THR infonya tidak sesuai PKB, hanya 1 kali upah, kita rencana akan laporkan ke Ditjen Binwasnaker dan mau merencanakan aksi lanjutan serta laporkan ke Yum International," jelas Anthony.
"Sementara soal kenaikan upah staff juga belum jelas akan dijadikan pengaduan juga, serta hak tunjangan dan penghargaan masa kerja," kata tambahnya.
Anthony menjelaskan THR yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja bersama (PKB) KFC akan diperkarakan. Dijelaskan kalau sesuai PKH seharusnya pegawai KFC mendapatkan THR sebesar satu setengah kali upah untuk masa kerja dua tahun lebih, dan satu tiga per empat gaji untuk masa kerja 20 tahun lebih.
"Tinggal THR yang tidak sesuai PKB KFC akan diperkarakan, infonya Serikat Pekerja Fast Food Indonesia (SPFFI) buat perjanjian lagi soal THR dengan KFC, maka kita tegaskan jangan diberlakukan pada anggota SPBI, kalau diberlakukan kita akan aksi massa lanjutan," jelas Anthony.
Dari pemberitaan sebelumnya, dijelaskan kalau SPFFI merupakan bagian dari SPBI.
Sebelumnya Direktur PT Fast Food Indonesia Tbk Justinus Dalimin Juwono sempat buka suara soal aksi tersebut. Ia menegaskan pekerja yang demo kemarin tak mewakili suara serikat pekerja restoran KFC di seluruh Indonesia.
"Itu serikat pekerja lain, yang kita tidak tahu. Kita ada Serikat Pekerja Fast Food Indonesia (SPFFI)," kata Justinus kepada CNBC Indonesia, Selasa (13/4). SPFFI merupakan serikat buruh yang menjadi anggota dari SPBI.
Bukan cuma KFC yang 'goyang', saat ini mulai banyak restoran yang tutup setiap harinya. Pada September 2020 lalu, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sempat membuat survey yang menyatakan jumlah restoran yang tutup permanen mencapai 1.100.
"Belum ada yang mau buka lagi, artinya sekarang prediksi saya sudah bertambah jadi 1.600-an lah restoran di mal dan luar mal se-Jakarta, keadaan seperti ini bukannya membaik tapi nggak ada pergerakan, sales nggak tumbuh, flat. Kuenya tambah kecil," kata Wakil Ketua PHRI bidang Restoran Emil Arifin kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (19/4).
Ia bilang mengecilnya kue karena banyak pelaku usaha baru yang membuka bisnis di bidang makanan dan menjualnya secara online. Bahkan banyak juga mantan pegawai restoran yang mulai menjalankan bisnis lain. Mereka membuka usaha karena sudah tidak lagi bekerja di restoran dan berbisnis demi bertahan hidup.
"Ada juga saya diajak, datang saja Pak ke tempat saya, sekarang jual nasi goreng. Memang masih kecil-kecil tapi mereka bisa makan dari hasil jualan di hari itu, jadi nggak usah mencari (kerja) lagi," katanya.
Emil bilang banyaknya pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pelaku usaha sudah tidak kuat lagi menahan beban biaya pegawai. Demi bisa bertahan, banyak pelaku usaha restoran yang akhirnya memilih menutup banyak gerai dan membuka sebagian restoran yang dinilai paling prospek.
"Ada beberapa teman awalnya punya 22 restoran, sekarang tinggal 11 restoran. Ada yang mulanya 25 restoran, sekarang 8 restoran, banyak yang menurunkan. Karena susah nggak ada pengunjungnya, menu dikurangi, orang atau pegawai juga dikurangi, nggak bisa kalau nggak dikurangi," jelas Emil.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article KFC Masih 'Berdarah-darah', Beneran Ekonomi Pulih?