
Andai THR Raib (Amit-amit), Ekonomi RI Resesi Lagi?

THR, yang diberikan jelang Idul Fitri, adalah kunci peningkatan konsumsi rumah tangga di Indonesia. Setiap kuartal yang bertepatan dengan Idul Fitri, niscaya pertumbuhan ekonomi melambung tinggi. Dengan bekal THR, masyarakat meningkatkan konsumsi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ingat, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi saat konsumsi tumbuh, maka ekonomi secara keseluruhan akan mengikuti.
Idul Fitri tahun ini diperkirakan jatuh pada 12-13 Mei 2021, kuartal II. Apabila THR betul-betul mampet, bagaimana prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode tersebut?
Pada kuartal I-2021, kemungkinan PDB Indonesia masih tumbuh negatif alias terkontraksi. Prediksi Kementerian Keuangan ada di -0,1% hingga -1%.
Apakah pada kuartal II-2021, andai THR tidak ada, ekonomi Indonesia bisa minus lagi? Apakah Indonesia masih akan terjebak dalam resesi?
Sepertinya tidak. Perlu dicatat bahwa kuartal II-2020 sebagai pembanding adalah titik nadir. Kala itu, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi lebih dari 5%, terburuk sejak 1998.
Harus diakui bahwa kondisi saat ini sudah jauh membaik ketimbang kuartal II-2020. Ada beberapa data yang membuktikan itu.
Pertama adalah alokasi penghasilan masyarakat yang dipakai untuk konsumsi (prospensity to consume ratio). Pada 2020, rata-ratanya ada di 68,71%.
Namun dalam dua bulan pertama 2021, angkanya melonjak menjadi di atas 70%. Ini menunjukkan masyarakat sudah berani berbelanja dan mengurangi menabung sehingga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kali ini dari sisi dunia usaha, adalah aktivitas manufaktur yang dalam tren meningkat. Aktivitas manufaktur dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis oleh IHS Markit.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50, maka artinya dunia usaha dalam fase kontraksi, tidak ada ekspansi.
Rata-rata PMI manufaktur Indonesia pada 2020 adalah 44,69. Jauh di bawah 50.
Namun dalam dua bulan pertama 2021, PMI selalu di atas 50. Ini menandakan dunia usaha mulai ekspansif.
"Masih bertambahnya kasus Covid-19 memang menjadi gangguan dalam operasional perusahaan. Namun sektor manufaktur ternyata masih tangguh. Penciptaan lapangan kerja pun mulai normal. Oleh karena itu, korporasi optimistis terhadap prospek setahun ke depan karena yakin bahwa pandemi bisa diakhiri," sebut Andrew Harker, Economics Director di IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
So, kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 tidak akan negatif. Sepertinya resesi akan berakhir pada kuartal I-2021, tidak berlanjut ke kuartal berikutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)