
Pak Jokowi, Jadi Kapan RI Bisa Jadi Negara Bebas Karbon?

Jakarta, CNBC Indonesia - Masih ingat peristiwa sekitar 5 tahun lalu, Desember 2015? Saat itu 196 perwakilan dari berbagai negara bertemu di Paris, Prancis. Pertemuan United Nations Framework Convention on Climate Change (COP21) itu membahas tentang masa depan bumi dan keberlanjutan umat manusia sebagai spesies utama yang mendiami planet biru.
Pada pertemuan tersebut mereka membahas mengenai kontribusi langsung umat manusia terhadap krisis perubahan iklim.
Perubahan iklim berdampak langsung terhadap lingkungan, bermuara menjadi problematika besar yang tidak dapat terelakkan lagi mulai dari kekeringan, gelombang panas, banjir, badai hingga kebakaran hutan.
Pada 12 Desember 2015 Kesepakatan Paris resmi ditandatangani untuk mengurangi emisi karbon di atmosfer demi menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius, sembari berupaya untuk membatasi peningkatan suhu di angka 1,5 derajat celsius dari waktu sebelum dimulainya industrialisasi (1850-1900).
Dari kesepakatan ini Korea Selatan, Jepang, Inggris serta 110 negara lain berjanji untuk mengurangi emisi karbon di masa depan, dan menjadi negara bebas karbon di tahun 2050, dengan China menyusul sebelum 2060.
Saat ini hanya Bhutan, kerajaan kecil di pegunungan Himalaya yang emisi gas rumah kacanya (GRK) tidak melebihi penyerapan karbon oleh hutan.
Indonesia sendiri berjanji mengurangi 29% total emisi per tahun 2030, dan siap mengurangi hingga 41% dengan syarat mendapat bantuan dan kooperasi internasional.
NEXT: Uji Coba Perdagangan Karbon
Emisi GRK (gas rumah kaca) di Indonesia dibagi atas lima sektor utama. Kelima sektor tersebut adalah energi, limbah, industri, pertanian dan kehutanan.
Dengan sektor kehutanan berkontribusi paling besar, hal ini adalah akibat dari sering terjadinya kebakaran lahan gambut di Indonesia. Selanjutnya sektor energi menjadi sektor utama lain yang berkontribusi signifikan terhadap emisi GRK.
Pengurangan emisi GRK ini tentu saja akan merubah bauran energi global dan nasional. Keputusan ini akan berimplikasi pada pengurangan penggunaan energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas bumi, sembari meningkatkan penggunaan energi baru yang lebih ramah lingkungan.
Dari sektor energi pemerintah bertekad mengurangi emisi karbon sebesar 11% di tahun 2030.
Penggunaan energi baru yang ramah lingkungan diharapkan setidaknya mencapai 23% dari bauran energi nasional di tahun 2025 dan naik menjadi minimal 31% di tahun 2050.
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) juga berupaya untuk mengimplementasikan penggunaan teknologi batu bara ramah lingkungan untuk pembangkit listrik dan penggunaan biosolar B30.
Tim Riset CNBC Indonesia menilai, upaya minimal pemerintah dalam memerangi perubahan iklim dan melindungi industri karbon adalah bentuk kegalauan dari pengambil kebijakan di negara ini.
Dilema ini terjadi karena ketakutan pemerintah akan turunnya pertumbuhan ekonomi nasional akibat mahalnya biaya kapital dan operasional energi baru ramah lingkungan.
Di sisi lain jika krisis iklim terjadi, negara utama yang menjadi korban adalah negara tropis yang berada di ekuatorial, salah satunya Indonesia.
Kenaikan permukaan air laut sendiri sudah menjadi masalah utama bagi ibu kota negara yang berada di pesisir, menambah beban Jakarta yang sudah dikenal luas sebagai kota yang paling cepat tenggelam di dunia.
Nah, salah satu cara meningkatkan capaian pengurangan emisi GRK ialah dengan uji coba perdagangan karbon.
Ada dua jenis perdagangan karbon. Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Sementara itu, satu lagi yakni perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit).
Indonesia memang baru mau mulai melakukan uji coba perdagangan karbon, terutama di sektor pembangkit listrik. Di negara lain, sudah banyak yang melakukan transaksi jual beli emisi karbon.
Sistem perdagangan emisi (Emission Trading System/ ETS) sudah berjalan di Uni Eropa sejak 2005, Swiss sejak 2008, Selandia Baru sejak 2008, dan Kazakhstan sejak 2013.
Kemudian Korea sejak 2015, Australia pada 2016, Kanada sejak 2019, China dan Mexico sejak 2021. China sudah melakukan uji coba di tujuh provinsi sejak 2013.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana saat paparan di acara 'Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi 2021', Kamis (18/03/2021) menyebut, hampir semua negara memang sudah menjalankan sistem perdagangan emisi (ETS) ini telah memasukkan sektor pembangkitan tenaga listrik.
"Hampir semua negara yang telah melaksanakan ETS memasukkan sektor pembangkitan tenaga listrik ke dalam lingkup mekanisme ETS," ungkapnya, Kamis (18/03/2021).
Menurut dia, uji coba pasar karbon akan meningkatkan capaian pengurangan emisi GRK dalam rangka pemenuhan target emisi, khususnya untuk sektor energi.
"Karena adanya upaya mitigasi di beberapa pembangkit listrik, pemenuhan GRK akan lebih dijalankan," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jendral Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruandha Agung Sugardiman, dalam wawancara dengan CNBC TV, juga mengatakan bahwa pemerintah menargetkan Indonesia menjadi negara bebas karbon pada tahun 2070.
Sebab itu, RI mulai melakukan uji coba perdagangan karbon di sektor ketenagalistrikan yang dimulai pada Maret sampai dengan Agustus 2021.
Perdagangan karbon bertujuan untuk mengurangi emisi GRK di Indonesia. Hal ini dilakukan guna mencapai target penurunan emisi karbon di Indonesia sebesar 29% di 2030 dan bebas emisi karbon di 2070.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Korsel 'Sunat' Pendanaan Batu Bara, RI Aman?
