
Intip Realisasi APBN Terkini! Apakah Mengkhawatirkan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) adalah krisis yang 'sempurna'. Wabah virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini memukul seluruh sendi kehidupan manusia.
Sudah lebih dari setahun, pagebluk belum juga berlalu. Pasien baru masih terus bertambah, bahkan dalam beberapa hari terakhir semakin tinggi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 22 Maret 2021 adlaah 122.992.844 orang. Bertambah 455.964 orang dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (9-22 Maret 2021), rata-rata tambahan pasien baru adalah 459.368 orang. Jauh lebih tinggi dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 390.361 orang.
Oleh karena itu, dunia belum bisa tenang. Masyarakat belum bisa beraktivitas sebagaimana sebelum pandemi, baik itu karena dilarang pemerintah maupun kesadaran sendiri.
Aktivitas dan mobilitas masyarakat yang terganggu sama saja dengan melumpuhkan perekonomian. Bahkan ekonomi terpukul di dua sisi sekaligus, pasokan dan permintaan. Tidak hanya itu, pukulan juga dirasakan baik di sektor riil maupun keuangan.
Halaman Selanjutnya --> Utang Jadi Andalan
Saat dunia usaha dan rumah tangga tidak bisa diandalkan untuk menggerakkan ekonomi, pemerintah yang harus berada di tengah panggung. Pemerintah melalui anggaran negara harus menjadi lokomotif, garda terdepan dalam menumbuhkan ekonomi.
Dengan sumber daya yang ada, pemerintah wajib memberikan berbagai dukungan ke dunia usaha dan rumah tangga. Apakah itu keringanan pajak, bantuan sosial, dan sebagainya.
Kapasitas anggaran negara memang besar. Namun bukan berarti tidak ada batasnya.
Apalagi ekonomi yang lesu berarti setoran pajak pun begitu. Sebab, setoran pajak adalah cerminan dari aktivitas ekonomi. Pajak dibayarkan kala terjadi tambahan penghasilan (Pajak Penghasilan/PPh) atau transaksi (Pajak Pertambahan Nilai/PPN). Saat ekonomi menciut, otomatis penerimaan pajak juga mengkerut.
Namun pemerintah wajib, kudu, harus memberikan stimulus agar rakyat bisa tetap bertahan hidup. Tanpa modal dari setoran pajak yang memadai, mau tidak mau anggaran negara harus berpaling ke utang sebagai sumber pembiayaan.
Untuk kasus Indonesia, mohon maaf, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini benar-benar bergantung kepada utang. Per Februari 2021, total penerimaan negara adalah Rp 219,2 triliun. Sementara pembiayaan utang mencapai Rp 273 triliun. Utang kini lebih besar ketimbang pajak.
![]() |
Oleh karena itu, masalah belum selesai bahkan saat pandemi berhasil dienyahkan. Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, akan menghadapi tantangan baru yaitu gunungan utang.
Pada 2020, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 39,36%. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan rasio ini akan membengkak menjadi 41,83% pada 2021. Pada 2025, angkanya diperkirakan sebesar 43,07%.
Halaman Selanjutnya --> Jangan Pinjam dari Luar Negeri, Bahaya!
Agar risiko utang tidak semakin tinggi, Tobias Adrian, Thor Jonasson, Ayhan Kose, dan Anderson Silva dari IMF memberi satu saran penting. Pemerintah harus menjaga utangnya tetap di dalam negeri, jangan terlalu mengandalkan utang dalam mata uang asing.
"Meminjam dalam mata uang asing di pasar obligasi luar negeri membuat sebuah negara berisiko terpapar risiko pergerakan kurs. Untuk menghindari risiko ini, otoritas harus mengembangkan pasar obligasi dalam negeri," sebut tulisan berjudul Keeping it Local: A Secure and Stable Ways to Access Financing terbitan 12 Maret 2021.
Tidak hanya untuk pembiayaan defisit, pasar obligasi yang kuat dan dalam juga akan membuat investor punya pilihan untuk menempatkan dana. Pasar keuangan secara keseluruhan menjadi lebih atraktif dengan pilihan instrumen yang semakin bertambah.
Pasar obligasi juga bisa membantu otoritas moneter untuk menjalankan operasinya. Bank sentral bisa masuk ke pasar obligasi untuk mengatur jumlah uang beredar sehingga inflasi lebih terkendali.
![]() |
"Membangun dan mengembangkan pasar obligasi adalah proses yang panjang dan kompleks. Namun seiring dengan itu, risiko terhadap perekonomian dan stabilitas sektor keuangan bisa diatasi," lanjut tulisan itu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Tolak Bayar Pajak? Mau Jutaan Anak Putus Sekolah?