E-Commerce Bunuh UMKM: Data Impor Gini, Wajar Jokowi Murka!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2021 06:34
Peresmian Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Sindang Sari, Kota Serang, 4 Maret 2021. (Tangkapan layar Youtube Setpres RI)
Presiden Joko Widodo Saat Peresmian Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Sindang Sari, Kota Serang, 4 Maret 2021. (Tangkapan layar Youtube Setpres RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meradang. Kepala Negara menyoroti soal banjir produk impor yang 'memangsa' produk dalam negeri.

"Produk-produk dalam negeri gaungkan, gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri, bukan hanya cinta tapi benci. Cintai barang kita, benci produk dari luar negeri sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia," tegas Jokowi.

Menteri Perdagangan M Lutfi menjelaskan yang dimaksud oleh Jokowi adalah praktik yang tak sesuai ketentuan perdagangan barang konsumsi. Ada dugaan permainan membanting harga atau predatory pricing yang membuat impor barang konsumsi via e-commerce kian deras dan membunuh pelaku usaha lokal.

Barang konsumsi adalah yang dipakai langsung oleh konsumen tanpa menimbulkan nilai tambah terhadap produksi dalam negeri. Meski membayar bea masuk, tetapi impor barang konsumsi yang dijual murah di market place digital asing menyebabkan persaingan tidak sehat, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Tanah Air.

"Perlu diluruskan ada background yang menyertai pernyataan Bapak Presiden. Laporan saya ke beliau tentang laporan praktik yang tak sesuai di perdagangan e-commerce. Praktik e-commerce yang mendunia, yang praktik ilegal perdagangan predatory pricing, jadi harga yang membunuh kompetisi," ungkap Lutfi.

Secara umum, sejatinya impor barang konsumsi tidak sebesar bahan baku/penolong atau barang modal. Impor bahan baku/penolong dan barang modal adalah impor yang berguna karena digunakan untuk proses produksi industri nasional. Oleh karena itu, impor bahan baku/penolong dan barang modal menjadi salah satu indikator kekuatan industri dalam negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor barang konsumsi sepanjang 2020 adalah US$ 14,66 miliar. Jauh dibandingkan barang modal (US$ 23,7 miliar) apalagi bahan baku/penolong (US$ 103,21 miliar).

Oleh karena itu, struktur impor Indonesia boleh dibilang masih sehat. Sebab, hampir 90% impor adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang bernilai tambah, untuk proses produksi industri dalam negeri.

Halaman Selanjutnya --> Tren Impor Barang Konsumsi Patut Diwaspadai

Namun bukan berarti semua baik-baik saja. Dalam lima tahun terakhir, impor barang konsumsi tumbuh rata-rata 6,88% per tahun. Jauh lebih cepat ketimbang pertumbuhan impor bahan baku/penolong (0,41%) dan barang modal (0,06%). Jadi ada kecenderungan di perekonomian Indonesia bahwa ada yang lebih suka jadi pedagang dan importir ketimbang industriawan.

Lutfi mencontohkan salah satu barang konsumsi yang banyak diimpor dan memukul UMKM dalam negeri adalah pakaian jadi (clothing). Produk ini memiliki kode HS 84.

Pada 2020, nilai impor HS 84 adalah US$ 773,76 juta. Memang anjlok 22,24% dibandingkan 2019, tetapi itu karena keseluruhan ekonomi memang anjlok akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Dalam lima tahun terakhir, rata-rata nilai impor HS 84 tumbuh 7,89% per tahun.

Namun impor barang konsumsi terbesar adalah makanan dan minuman olahan. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan nilai impor produk tersebut pada 2020 adalah US$ 3,05 miliar.

Dibandingkan dengan 2019, seperti halnya pakaian jadi, memang terjadi penurunan 8,96%. Namun dalam lima tahun terakhir, rerata pertumbuhan impor produk ini adalah 2,34% per tahun.

Halaman Selanjutnya --> Mau Tekan Impor, Industri Harus Kuat

Apabila ingin impor barang konsumsi dikurangi, maka industri dalam negeri harus unggul dan mampu memasok permintaan masyarakat. Impor pakaian dan makanan-minuman olahan tentu bisa ditekan jika industri dalam negeri terbangun dengan kuat.

Membangun industri dalam negeri membutuhkan dorongan dari segala sisi. Pemerintah melalui kebijakan fiskal bisa memberikan berbagai keringanan terkait perpajakan. Atau bisa juga dengan mendorong pembangunan infrastruktur yang merupakan prasyarat pengembangan industri. Listrik, jalan, jembatan, pelabuhan, dan sebagainya mesti andal agar industri mampu menciptakan efisiensi sehingga menutup ruang pasar buat produk impor yang banting harga.

Sementara bank sentral bisa memberi 'rangsangan' dengan suku bunga rendah. Suku bunga rendah akan membuat pelaku usaha berminat untuk melakukan ekspansi karena biayanya murah.

Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah menurunkan suku bunga acuan 150 basis poin (bps) sejak awal tahun lalu hingga ke titik terendah sepanjang sejarah. Suku bunga simpanan pun sudah turun lebih dari 180 bps.

Namun yang jadi soal adalah transmisinya, karena suku bunga kredit belum turun setajam itu. Sepanjang 2020, rata-rata suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) hanya turun 88 bps.

Sedihnya, rerata suku bunga KMK pada Januari 2021 adalah 9,21%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 9,15%.

Oleh karena itu, dukungan bagi pengembangan industri dalam negeri masih bisa lebih kencang lagi. Jokowi sudah menunjukkan kegusaran, sekarang saatnya alat negara di bawahnya bekerja lebih keras demi mewujudkan asa Kepala Negara. Adanya tren impor barang konsumsi yang pertumbuhannya tinggi perlu diwaspadai, salah satu pintu masuk yang juga jadi kegusaran Jokowi adalah melalui marketplace atau e-commerce yang kini kian tak terbendung apalagi dengan praktik tak sehat sehingga membunuh pelaku UMKM lokal.

"Baru minggu kemarin saya sudah sampaikan ke pak Menteri Perdagangan ini ada yang engak bener ini di perdagangan digital kita (e-commerce). Membunuh UMKM," kata Presiden Jokowi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Ultimatum Jokowi untuk Oknum yang Doyan Ambil Cuan dari Impor

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular