
Pertamina Incar Bisnis Energi Laut, Hidrogen hingga Nuklir

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) terus berupaya melakukan transisi energi dari energi berbasis fosil ke energi baru terbarukan (EBT), terutama ketika produksi minyak dan gas di dalam negeri terus menurun, sementara konsumsi energi terus meningkat.
VP Downstream Research & Technology Innovation Pertamina Andianto Hidayat mengatakan Pertamina sebagai bagian dari penyedia energi fosil juga harus bisa menyesuaikan dan menghadapi disrupsi teknologi.
Untuk itu, dalam jangka pendek menurutnya perseroan tetap terus menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), biofuel, dan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Sementara untuk jangka panjang, perseroan akan mengembangkan energi air, gasifikasi batu bara, pencairan batu bara (liquefied coal), energi laut dan bahkan hidrogen.
"Jangka pendek kita kembangkan geothermal (panas bumi). Jangka panjang, kita masuk ke hidro, ocean (tenaga laut), dan hidrogen," ungkapnya dalam webinar tentang energi baru terbarukan Pertamina, Rabu (17/02/2021).
Menurutnya, potensi energi laut di Indonesia sangat besar karena ini negara kepulauan. Selain itu, menurutnya perseroan bahkan kemungkinan bisa saja masuk ke pengembangan energi nuklir ke depannya bila nanti pada akhirnya pemerintah menyetujui pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
"Ocean energy masih melimpah di sekitar kita sebagai negara kepulauan dan jika memungkinkan, kita juga bisa masuk ke energi nuklir yang ramah lingkungan dan aspek safety, tapi tergantung kebijakan pemerintah," paparnya.
Dia mengatakan, dorongan untuk bertransisi ke EBT cukup banyak, terutama karena produksi migas terus menurun. Bahkan, sejak 2004 Indonesia menjadi net importir minyak. Pada April 2020 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan US$ 344,7 juta, di mana kontribusi paling besar disumbang dari minyak mentah, bensin, dan dari minyak solar.
"Sementara cadangan untuk gas sejauh ini masih dalam kondisi mencukupi tapi akan habis di tahun 2045. Ini jadi tantangan apa yang akan dilakukan untuk menyiapkan energi," ungkapnya.
Selain menekan defisit, dorongan lain Pertamina untuk transisi ke EBT adalah masuknya industri kendaraan listrik. Apalagi, imbuhnya, pemerintah menargetkan produksi kendaraan listrik mencapai 20% dari produksi mobil nasional pada 2025.
"Potensi EBT di Indonesia besar 411 Giga Watt (GW) saat ini baru 9,89 GW yang terpasang. Energi fosil masih dominan tapi akan turun di tahun 2035 dengan masuknya listrik di segala lapisan perekonomian, kendaraan motor, energi rumah tangga dan lainnya," paparnya.
Menurutnya, pertumbuhan EBT akan lebih cepat seiring dengan terjadinya penurunan produksi energi fosil. Di COP21 Indonesia berkomitmen untuk mengurangi CO2 sebesar 834 Mton atau sekitar 29% emisi CO2 pada 2030.
Dia memperkirakan biaya produksi dari sejumlah energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan angin akan mengalami penurunan signifikan ke depannya.
"Saat ini yang masih konservatif dalam pengembangan EBT adalah Exxon Mobil karena masih mencukupi cadangan minyaknya, sehingga hanya aktif di mikro alga. Lalu BP juga masih cukup besar namun sudah investasi di renewable," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dukung Green Energy, Pertamina Bakal Investasi Rp 253,8 T