
Laut China Selatan Panas Lagi, Investasi ASEAN Bisa Buyar!

Jakarta, CNBC Indonesia - Apabila mendengar kata Laut China Selatan (LCS) publik seringkali heboh. Wilayah perairan laut seluas 3,7 juta kilometer persegi itu selalu menjadi sorotan publik serta topik perbincangan hangat di berbagai kalangan. Mulai dari obrolan bapak-bapak di warung kopi hingga analisa pengamat geopolitik dan hubungan internasional yang sering mondar-mandir di media.
Apa yang mereka perbincangkan topiknya sama yaitu konflik teritorial yang melibatkan berbagai negara seperti China, Amerika Serikat dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia hingga Filipina.
Awal mula perseteruan terjadi karena klaim sepihak China atas teritori tersebut. Menurut klaim Negeri Panda, China menguasai lebih dari 90% wilayah LCS. Dasar acuannya adalah peta yang menggambarkan 9 garis putus-putus (nine dash line) di LCS yang diyakini China telah menjadi wilayahnya sejak lama.
Namun klaim tersebut bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS). Ada konsep yang namanya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ini adalah zona yang membentang sejauh 200 mil yang diukur dari garis pangkal pantai suatu negara. Di dalam ZEE setiap negara berhak untuk memanfaatkan kekayaan yang ada di dalamnya.
Dengan sangat percaya diri China bahkan membangun pulau buatan di LCS terutama di wilayah Kepulauan Spratly yang diklaim menjadi milik Filipina. Setiap harinya kapal-kapal tanker China yang mengangkut berton-ton pasir membuangnya ke laut hanya untuk membuat pulau yang kemudian bakal menjadi pangkalan militer negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Pada Juli 2016, pengadilan internasional di Den Haag (Belanda) memutuskan bahwa klaim China menggunakan nine dash line tidak berdasar. Bahkan tindakan China yang membangun pulau buatan yang diberi nama Mischief Island tanpa izin dari Filipina adalah sebuah pelanggaran hukum.
Meski diputuskan bersalah, ambisi China untuk menguasai LCS tidak berhenti di sana. Bahkan China semakin agresif untuk menguasai LCS. Langkah yang semakin terlihat ini juga mendapat protes dari negara-negara tetangga yang juga mengklaim sebagian wilayah LCS.
Amerika Serikat (AS) sebagai sherrif-nya dunia bahkan sampai turun tangan. Negeri Adikuasa seringkali mengirimkan armada tempurnya ke LCS hanya untuk latihan militer. Di era President of United States ke-45 (POTUS45) Donald Trump menjabat, misi AS yaitu mendukung navigasi dan perdagangan bebas di wilayah tersebut.
Trump kini sudah lengser. Penggantinya adalah Joe Biden dari Partai Demokrat yang resmi menjadi AS-1 sejak 20 Januari silam. Di bawah pemerintahan Joe Biden pun AS tak mau melunak.
Lewat ucapan selamat Imlek yang disampaikan oleh Biden kepada Xi Jinping, mantan wakil presiden era Barrack Obama itu juga menegaskan bahwa AS hanya akan bekerja sama dengan China jika menguntungkan Paman Sam.
Belakangan ini Biden juga mengambil langkah yang sama dengan pendahulunya Trump dalam menggertak China dengan mengirimkan armada tempur AS ke LCS. Ketegangan ternyata belum surut juga.
Aksi-aksi provokasi semacam ini dikhawatirkan bakal berujung pada konfrontasi militer yang memicu terjadinya perang dunia antara dua kekuatan ekonomi terbesar di muka bumi.
Bagaimanapun juga LCS punya peran penting baik bagi China, AS, negara-negara ASEAN hingga dunia. Bagi China LCS adalah aset yang harus benar-benar dijaga karena disebut memiliki sumber daya energi dan pangan berlimpah yang memenuhi kebutuhan ekonomi negara dengan populasi terbesar di dunia itu.
Kendati tidak ada angka pasti terkait seberapa kaya LCS itu, tetapi berbagai referensi menyebut bahwa teritori tersebut menyimpan sejumlah besar cadangan minyak dan gas yang masing-masing jumlahnya sebesar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.
LCS disebut-sebut memiliki sumber daya perikanan yang sangat berlimpah hingga 10% dari total sumber daya di dunia. Bayangkan saja jika China benar-benar menguasai LCS maka suplai energi dan pangan untuk 1,4 miliar populasi mereka bisa lebih terjamin dengan ongkos yang murah karena tak harus mengimpor.
Sebagai ilustrasi di sektor energi, saat ini China mengimpor 10 juta barel per hari minyak dalam satu tahun. Apabila China mengusai 90% dari total cadangan minyak LCS saja maka Negeri Tirai Bambu sudah bisa mengamankan kebutuhan minyaknya selama kurang lebih 2,7 tahun tanpa harus mengimpor dari Arab Saudi dan negara lain dalam jumlah besar.
Tentu saja ini hanyalah ilustrasi berdasarkan hitungan kasar semata untuk memperlihatkan seberapa besar kekayaan alam di LCS. Selain memiliki kekayaan alam melimpah, LCS juga menjadi rute perdagangan strategis bagi China dan dunia.
ChinaPower sebuah think tank bentukan Center for Strategic International Studies (CSIS) mengestimasi bahwa nilai perdagangan lewat LCS mencapai US$ 3,37 triliun atau setara dengan 30% dari total nilai perdagangan global.