
Harga Komoditas Beterbangan, Ekonomi RI Siap Bangkit!

Jakarta, CNBC Indonesia - Habis gelap terbitlah terang, begitulah tulisan RA Kartini.
Pengetatan moneter yang dilakukan oleh bank sentral AS setelah sekian lama membiarkan suku bunga rendah turut berdampak ke pasar. Harga kontrak futures berbagai komoditas ambles.
Penurunan permintaan akibat mobilitas yang tersendat serta daya beli yang terganggu akibat Covid-19 membuat harga-harga komoditas baik pangan, energi dan logam berjatuhan.
Tren penurunan harga komoditas membuat penambang dan petani menjadi kurang bergairah untuk berproduksi. Akhirnya mereka memilih untuk memangkas output. Namun setelah ekonomi bersemi kembali dan permintaan naik, harga komoditas pun akan ikut terkerek.
Ekonomi akan selalu bergerak dalam siklus. Ada kalanya ekspansif dan tentu juga diikuti dengan periode kontraktif. Saat ekonomi terkontraksi bank sentral akan memangkas suku bunga. Otoritas fiskal akan menggelontorkan stimulus untuk mendongkrak perekonomian.
Inilah yang dilakukan selama pandemi Covid-19. Stimulus fiskal dan moneter super jumbo yang belum pernah diberikan sebelumnya membanjiri perekonomian. Akhirnya nilai mata uang pun terdevaluasi.
Suku bunga acuan AS kini sudah di level zero lower bound, hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun The Fed (bank sentral AS) sudah mencetak US$ 3 triliun dolar AS dan digunakan untuk membeli aset-aset keuangan berupa surat utang pemerintah.
Injeksi yang berlebihan membuat dolar AS sebagai mata uang perdagangan internasional melemah 7% di tahun 2020. Hal ini tercermin dari koreksi indeks dolar yang mengukur posisi greenback terhadap mata uang lain.
Pelemahan dolar membuat harga komoditas yang dibanderol dalam mata uang tersebut menguat. Fenomena ini kemudian disebut sebagai commodity supercycle. Tahun 2021 diyakini menjadi era commodity supercycle.
Kenaikan harga akan menguntungkan negara-negara yang ekonominya bergantung pada komoditas, salah satunya adalah Indonesia. Lebih dari 40% ekspor Indonesia masih berbasis komoditas.
Oleh karena itu volatilitas harga komoditas akan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian domestik. Apabila melihat tren yang terjadi sejak 2010, pergerakan harga komoditas seringkali menjadi leading indicator untuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Saat harga komoditas naik, ekonomi RI pun ikut terdongkrak. Begitu juga sebaliknya. Tren kenaikan harga komoditas di penghujung tahun 2020 dan diperkirakan berlanjut tahun ini dan membawa harapan bagi pemulihan ekonomi dalam negeri.
Halaman Selanjutnya --> Ada Harapan di 2021
Sebagai eksportir komoditas di dunia, ekonomi Indonesia terpuruk di tahun 2020. Ekspor ambles 7,7% dibanding tahun 2019 karena penurunan harga komoditas dan permintaan global.
Komoditas unggulan ekspor Indonesia adalah minyak sawit, batu bara dan berbagai komoditas tambang lainnya. Harga komoditas berupa minyak sawit belakangan mengalami kenaikan sampai ke level hampir 8 tahun terakhir. Harga batu bara juga demikian. Kini berada di rentang tertingginya dalam dua tahun.
Permintaan global memang belum pulih benar. Namun pemulihan tersebut didorong oleh negara-negara di kawasan Asia terutama China. Kesuksesan Negeri Panda untuk menangani pandemi Covid-19 berbuah manis.
Ketika yang lain jatuh ke dalam jurang resesi (termasuk Indonesia), China justru mencatatkan pertumbuhan PDB yang positif dalam tiga kuartal beruntun sejak periode April 2020.
Geliat ekonomi China sebagai importir komoditas terbesar di dunia membuat permintaan terhadap produk-produk komoditas menjadi naik. Kedekatan ekonomi antara China dan Indonesia pun membawa berkah bagi RI.
Perseteruan China dengan Australia membuat Negeri Panda lebih memilih produk batu bara dari Tanah Air. Harga batu bara pun terdongkrak. Begitu juga dengan CPO. Tidak hanya dua komoditas itu saja yang mengalami kenaikan harga. Komoditas logam dasar seperti nikel, timah, tembaga dan bijih besi juga ikut terkerek.
Komoditas-komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan ekspor Indonesia. Bahkan harga nikel pun diramal tembus US$ 20.000/ton tahun ini. Indonesia sebagai pemain nikel global diuntungkan atas kenaikan harga tersebut.
Produksi nikel Indonesia mencapai 27% dari total output global. Sejak awal tahun 2020 pemerintah resmi menghentikan ekspor nikel mentah berupa bijih. Mayoritas ekspor bijih nikel Indonesia dikirim ke China dan Eropa.
Meski Eropa menempuh jalur hukum lewat WTO akibat kebijakan tersebut, China justru malah berinvestasi di Indonesia. Tren kenaikan harga nikel ditopang oleh perkembangan penjualan mobil listrik.
Saat penjualan mobil dunia turun, pangsa pasar mobil listrik justru meningkat. Volume penjualan mobil listrik global tahun 2020 mencapai lebih dari 3 juta unit atau naik 43% dibanding tahun 2019 yang hanya 2,2 juta unit.
Tren penggunaan baterai dari nikel akan semakin semarak. Indonesia punya ambisi untuk menjadi pemain di industri tersebut dengan menggaet investasi baik dari China hingga AS.
Saat AS di bawah kepemimpinan Donald Trump cenderung berupaya untuk mendisrupsi rantai pasok global dan memilih berseteru secara terang-terangan dengan China, hubungan RI dan China justru makin lekat.
Perjanjian kerja sama ekonomi terbesar di dunia untuk blok Asia-Pasifik yang bernama RCEP pun ditanda-tangani. Indonesia dan China masuk di dalamnya. Kerja sama tersebut diharapkan bakal mendongkrak aktivitas perdagangan, investasi hingga pertumbuhan ekonomi bagi anggotanya.
Pada akhirnya kenaikan harga-harga komoditas tidak hanya diharapkan mendongkrak ekspor tetapi juga investasi hingga daya beli masyarakat Indonesia terutama yang bergerak di sektor agrikultur maupun pertambangan. Sekali lagi kenaiakan harga komoditas membawa harapan untuk pemulihan perekonomian Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Resesi Memang Nyata! Pasar Tanah Abang Sepi Bak Kuburan