Duh! Harga Cabai Belum Turun, Daging Sapi Mulai Terbang!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
21 January 2021 16:20
Ilustrasi Daging sapi
Foto: Ilustrasi Daging (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan harga sapi yang tinggi di tingkat distributor membuat para pedagang eceran menjerit. Pedagang yang menjual daging ke masyarakat harus menanggung rugi dari kenaikan harga daging sapi ini. Sebagai bentuk aksi protes ke pemerintah para pedagang eceran di kawasan Jabodetabek memilih untuk mogok dagang sejak Rabu (20/1).

Harga daging sapi di tingkat distributor sudah naik Rp 10.000 - Rp 12.000/kg. Sehingga harga pokok penjualan (HPP) pedagang eceran kini sudah berkisar di antara Rp 125.000 - Rp 127.000 per kilogram.

Mau tak mau para pengecer menaikkan harga daging sapi yang dijualnya. Namun sayang momentumnya sedang tidak tepat. Saat daya beli masyarakat Tanah Air terganggu pandemi Covid-19, harga kebutuhan pokok malah naik.

Harga-harga bahan pangan pokok seperti cabai hingga sapi ikut naik. Ini menjadi beban bagi masyarakat. Minat beli yang rendah membuat para pedagang sapi eceran tak kuat lagi menanggung rugi.

Mereka juga memprotes keras atas tudingan bahwa kenaikan harga tersebut disebabkan oleh kalangan mereka. Padahal kenyataannya di tingkat distributor harganya sudah melambung tinggi.

Kendati pemerintah melalui Kementerian Perdagangan bakal mengumumkan rilis kenaikan harga daging sapi menjadi Rp 130.000/kg dan aksi mogok sudah dicabut, para pedagang sapi di kawasan Jabodetabek sudah telanjur mogok kemarin.

Kementerian Perdagangan maupun pihak asosiasi tak bisa memaksa para pedagang untuk kembali berjualan.

Apabila mengacu pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga daging sapi kualitas I baik di pasar tradisional maupun modern dipatok di Rp 125.000/kg. Sementara untuk yang kualitas kedua dipatok di Rp 115.000/kg.

Setelah ditelusuri rantai pasoknya, harga daging sapi memang sudah melonjak di kalangan importir. Menurut Ketua Harian Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi, harga daging sapi di kalangan importir sudah mencapai US$ 3,9 (Rp 54.600 kurs Rp 14.000/US$) per kilogram bobot hidup sapi bakalan per Januari 2021.

Harganya pun meningkat dari bulan Juli tahun lalu yang masih berkisar di US$ 3,6 (Rp 50.400 ) per kilogram bobot hidup sapi bakalan. Indonesia banyak bergantung pada daging Sapi Australia untuk memenuhi kebutuhan domestiknya.

Menurut dokumen yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2019, Indonesia dan Australia mampu membentuk rantai pasok yang stabil selama lebih dari tiga dekade.

Rantai pasok ini didukung oleh kemampuan Australia terutama di bagian utara untuk secara efisien menghasilkan sapi bakalan, dan kemampuan Indonesia untuk menggemukkan dan mengolah ternak ini dengan biaya relatif rendah.

Australia juga mengekspor ke Indonesia daging sapi segar dan beku dalam jumlah yang signifikan. Tak ketinggalan, Negeri Kanguru juga mengekspor jeroan ke RI. Bahan baku ini digunakan untuk membuat berbagai makanan olahan khas Tanah Air seperti bakso, rendang dan lainnya.

Di tahun 2019, Australia mengekspor sekitar AUD 690 juta sapi (676.433 ekor), AUD 274 juta daging sapi beku, AUD 48 juta daging sapi beku dan AUD 106 juta jeroan sapi ke Indonesia.

Apabila digabungkan, maka total ekspor sapi Australia ke Indonesia mencapai AUD 1,12 miliar. Indonesia menjadi pasar kelima terbesar untuk industri daging sapi Australia dan menjadi destinasi ekspor terbesar untuk kategori produk ternak hidup dengan 50% dari total pasar ekspor. Pengiriman utama berasal dari Darwin dan Townsville

Ketika harga daging sapi yang diperoleh importir dari Australia melonjak, kurs rupiah juga terus mengalami pelemahan terhadap dolar Australia. Pelemahan rupiah terhadap dolar Kanguru tentunya membuat biaya impor akan menjadi lebih mahal.

Di pasar spot dolar rupiah kini sudah mencapai Rp 10.837 untuk 1 dolar Australia. Padahal di periode yang sama tahun lalu, rupiah masih dibanderol di Rp 9.363/AUD. Artinya rupiah telah terdepresiasi sebesar 15,7% satu tahun terakhir.

Tidak hanya di Indonesia dan Australia saja, harga daging sapi secara global juga terkerek naik. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyebut bahwa kenaikan harga daging sapi secara mengglobal disebabkan oleh terbatasnya pasokan dari Oseania dibarengi dengan tingginya permintaan untuk ternak.

Sebenarnya selain harga daging sapi, ada banyak bahan pokok lain yang mengalami lonjakan dan tetap tinggi bahkan setelah tahun baru 2021 berlalu.

Mulai dari harga cabai merah, cabai rawit, produk olahan kedelai seperti tahu dan tempe, daging ayam ras, ikan kembung, ikan tongkol hingga kacang panjang mengalami kenaikan dan menjadi penyumbang inflasi.

Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu II Januari 2021, perkembangan harga pada bulan Januari 2021 diperkirakan inflasi sebesar 0,38% (mtm). Dengan perkembangan tersebut, perkiraan inflasi Januari 2021 secara tahun kalender sebesar 0,38% (ytd) dan secara tahunan sebesar 1,68% (yoy).

Penyumbang utama inflasi yaitu cabai rawit sebesar 0,09% (mtm), tempe, tahu mentah, dan cabai merah masing-masing sebesar 0,03% (mtm), emas perhiasan dan tarif angkutan antarkota masing-masing sebesar 0,02% (mtm), daging ayam ras, ikan kembung, ikan tongkol, kacang panjang dan nasi dengan lauk masing-masing sebesar 0,01% (mtm).

Harga cabai yang pedas di pasaran masih belum mampu turun. Mengacu pada data harga pemerintah yaitu PIHPS Nasional, rata-rata harga cabai merah besar di pasar tradisional per hari ini berada di Rp 49.050/kg. 

Untuk jenis cabai merah keriting, harga rata-ratanya di pasar tradisional dibanderol di Rp 53.700/kg. Harga cabai rawit lebih ganas lagi. Untuk cabai rawit hijau rata-rata dibanderol di Rp 60.050/kg sementara harga cabai rawit merah menjadi yang paling mahal dan dipatok di Rp 74.950/kg di pasar tradisional.

Kenaikan harga pangan yang serempak ini harus segera ditangani dengan sigap oleh pemerintah terutama Kementerian Perdagangan. Miris rasanya ketika daya beli masyarakat belum pulih, kini harus menanggung beban lebih berat akibat kenaikan harga bahan pangan. Sedih jika ungkapan untuk makan saja susah benar-benar semakin menjadi kenyataan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular