Inggris Resmi Cerai dari Uni Eropa, Siapa Untung?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
01 January 2021 14:50
Britain's Prime Minister Boris Johnson waves to the media as he leaves 10 Downing Street or go to the House of Commons his weekly Prime Minister's Questions in London, Wednesday, Sept. 30, 2020. (AP Photo/Alastair Grant)
Foto: Perdana Menteri Inggris Boris Johnson (AP Photo/Alastair Grant)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebelum tahun baru 2021, Inggris akhirnya resmi bercerai dari blok Uni Eropa (UE). Sebenarnya Inggris sudah meninggalkan parlemen Eropa sejak awal Januari tahun lalu. Namun Inggris masih menjadi bagian dan tunduk terhadap aturan UE selama periode transisi negosiasi yang berjalan selama 11 bulan terakhir.

Sudah 4,5 tahun berlalu sejak referendum dilakukan pada Juli 2016. Inggris terus berupaya untuk memiliki hubungan baru dengan UE, bukan sebagai satu entitas yang sama melainkan sebagai pihak yang terpisah. Inggris ingin bercerai dengan blok kerjasama ekonomi yang diikutinya sejak 1973 tersebut.

Kedaulatan menjadi alasan utama yang diusung oleh pihak yang pro terhadap Brexit. Menjadi bagian dari UE hanya merugikan Inggris karena aturan yang terus berkembang.

Menurut Michael Gove selaku anggota eksekutif Inggris (Minister of Cabinet Office) aturan yang dibuat untuk warga Inggris tidak berasal dari politisi yang dipilih oleh masyarakat. Namun juga tidak bisa ditolak. Gove merupakan politisi dari Partai Konservatif sama seperti Perdana Menteri Boris Johnson yang mengusung agenda Brexit.

Selain masalah birokrasi, alasan lain yang diusung dalam kampanye Brexit adalah imigrasi ke Inggris yang mengalami peningkatan. Council on Foreign Relation (CFR) melaporkan bahwa para imigran dari UE terutama dari Polandia, Bulgaria dan Romania yang masuk ke Inggris sejak 2004-2015 meningkat tiga kali lipat dari satu juta orang menjadi lebih dari 3 juta orang.

Di sisi lain alasan keamanan juga menjadi poin yang diusung dalam kampanye Brexit. Aksi terorisme yang terjadi di Paris dan Brussels dikhawatirkan bakal mengamcam keselamatan warga Inggris ketika tetap mengusung kebebasan dalam hal mobilitas penduduk.

Menurut Roger Bootle penulis buku The Trouble with Europe mengatakan bahwa fokus UE untuk mewujudkan harmonisasi melalui standardisasi aturan ketenagakerjaan hingga ke hal-hal yang bersifat teknis seperti ukuran kontainer minyak zaitun adalah pemicu utama lambatnya pertumbuhan di blok tersebut.

Alasan ini pula yang menjadi salah satu pemicu mengapa Brexit terus diupayakan. Namun perceraian ini bukan tanpa ongkos. Bagi sebagian analis atau ekonom kehilangan privilese sebagai bagian dari mitra dagang terbesarnya adalah hal yang merugikan untuk Inggris.

Dalam perjanjian dagang antara UE dan Inggris bea masuk impor dan kuota tidak berlaku. Sebagai informasi, Inggris mengekspor 45% dari produknya ke UE, sementara di saat yang sama impor dari UE oleh Inggris mencapai 53% dari total impor Negeri Ratu Elizabeth.

Tanpa adanya tarif dan kuota, itu akan membantu melindungi perdagangan antara kedua belah pihak senilai US$ 894 per tahun dan ratusan ribu pekerjaan yang bergantung pada sektor tersebut.

Namun Brexit juga memiliki arti bahwa Inggris juga akan bercerai dari serikat pabean UE. Menurut berbagai pihak ini jelas memberatkan Inggris.

Mulai Januari, perdagangan barang akan menjadi jauh lebih memberatkan karena akan ada serangkaian pemeriksaan bea cukai dan peraturan baru, termasuk aturan asal dan persyaratan konten lokal yang ketat.

Ini akan menambah birokrasi, memperlambat keseluruhan proses, dan rantai pasok. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi baru ini.

Di sisi lain kesepakatan dagang antara Inggris dan UE juga dinilai hanya akan melemahkan UE. Hal ini juga disampaikan oleh eks Perdana Menteri Inggris Theresa May. Menurutnya ia akan mendukung langkah Boris Johnson.

Namun dia mengatakan perjanjian yang sekarang jauh lebih buruk daripada yang dia negosiasikan dengan blok itu ketika masih menjabat sebagai Perdana Menteri dan berulang kali ditolak oleh anggota parlemen.

Dia mencatat bahwa kesepakatan itu melindungi perdagangan barang tetapi tidak mencakup jasa, yang menyumbang 80% ekonomi Inggris. "Kita memiliki kesepakatan dalam perdagangan yang menguntungkan UE, tetapi bukan kesepakatan dalam jasa, yang akan menguntungkan Inggris," kata May, mengutip AP News.


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gegara Brexit, Orang Tajir Inggris 'Pindah' Kewarganegaraan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular