
Bos Buruh Ramal 2021 Gelombang PHK Massal Belum Kelar

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan buruh memprediksi bahwa potensi ledakan pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan berlanjut di 2021. Hal itu tidak lepas dari resesi ekonomi berkepanjangan imbas pandemi Covid-19. Memasuki akhir tahun 2020, belum terlihat sinyal bahwa kondisinya bakal lebih baik.
"Gelombang PHK pada 2021 akan menimpa sektor manufaktur, baik yang padat karya maupun padat modal," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangan resmi, Selasa (29/12).
Berkaitan dengan itu, KSPI tidak meyakini pernyataan pemerintah yang memastikan bakal ada peluang terciptanya lapangan kerja baru yang dihasilkan dari komitmen para investor luar negeri tahun depan. Justru yang terjadi adalah perpindahan dari karyawan tetap yang di PHK, kemudian bekerja kembali dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Hal itu diperparah dengan adanya UU Cipta Kerja yang berdampak pada beragam hak buruh. Salah satu poinnya adalah nilai pengurangan nilai pesangon. Kalaupun ada sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar pesangon, maka akan sulit berjalan di lapangan.
Said Iqbal mencontohkan di UU No 13 Tahun 2003 juga ada ketentuan jika pengusaha yang tidak membayar upah minimum maka akan dipidana 1 tahun. Tetapi faktanya nyaris tidak ada pengusaha yang dipidana karena membayar upah buruh di bawah upah minimum. Hal yang sama juga akan terjadi dalam kasus pesangon,
"Sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak bayar pesangon hanya gula gula pemanis bibir," sebutnya.
Kemudian, TKA atau Tenaga Kerja Asing unskill worker (buruh kasar) juga berpotensi akan massif masuk ke Indonesia. Karena di dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, surat izin tertulis Menaker wajib dimiliki bagi TKA yang akan bekerja di Indonesia dihapus. Dan diganti dengan kalimat mendapat pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing.
"Akibatnya, menurut serikat buruh, tidak ada alat kontrol negara terhadap seberapa besar potensi buruh kasar TKA akan masuk dan bekerja di Indonesia. Hal ini berpotensi dapat mengancam lapangan kerja bagi pekerja lokal," tegasnya.
Kemudian Ia menyebut waktu kerja bagi buruh bisa lebih pajang karena jam lembur bisa 3 jam sehari. Sehingga waktu kerja bisa 11 jam sehari karena kerja lembur diperbolehkan hingga 3 jam sehari.
"Hal ini akan sangat melelahkan buat buruh karena waktu istirahat berkurang. Sehingga berpotensi membuat pekerja berpotensi menjadi sakit, dan dalam jangka panjang membuat pekerja menderita penyakit akibat kerja. Negara akan merugi karena biaya kesehatan dan BPJS akan meningkat tajam, disamping produktivitas buruh juga akan menurun akibat kelelahan," katanya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pabrik Ban Goodyear Bogor Dilanda PHK Massal, Karyawan Ngamuk