Jakarta, CNBC Indonesia - Perkara utang selalu menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya baik utang pemerintah maupun korporasi yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah (BUMN) terus meningkat dari waktu ke waktu. Banyak pihak yang mulai mencemaskan kondisi utang ini, apalagi di tengah kondisi pandemi seperti sekarang.
Seperti halnya pemerintah, BUMN juga membiayai berbagai aktivitasnya baik untuk modal kerja, ekspansi atau investasi hingga refinancing melalui utang. Berbagai skema utang disiapkan untuk menyerap pinjaman dari kreditor di dalam dan luar negeri.
Utang BUMN RI terus mengalami peningkatan seiring dengan ambisi pemerintah yang ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang menelan biaya fantastis.
BUMN dijadikan sebagai salah satu mesin penggerak roda perekonomian untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Namun di sisi lain ada konsekuensi yang harus diterima yaitu utang yang bengkak.
Pada periode 2015-2019, total aset perusahaan pelat merah Indonesia tumbuh dari Rp 5.760 triliun menjadi Rp 8.734 triliun. Aset BUMN meningkat 10,3% per tahunnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Namun lebih dari 60% dari aset tersebut masih dibiayai dengan mengandalkan utang. Total kewajiban (liabilities) BUMN naik dari Rp 3.760 triliun menjadi Rp 6.070 triliun. Dalam setahun total kewajiban BUMN naik 12,2% lebih tinggi dari pertumbuhan asetnya.
Rasio kewajiban terhadap modal (debt to equity/DER) korporasi milik pemerintah juga terus membengkak dari yang tadinya di bawah 2 kali menjadi lebih dari 2 kali dalam kurun waktu lima tahun.
Di saat yang sama kinerja BUMN juga mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari rasio utang terhadap pendapatan sebelum biaya bunga utang, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) yang juga terus meningkat.
Tahun lalu rasio utang terhadap EBITDA BUMN sudah tembus 4,62 kali. Padahal lima tahun sebelumnya atau pada 2015 rasionya masih berada di angka 1,63 kali. Mirisnya lagi dari total kewajiban yang dimiliki perusahaan sebesar Rp 6.070 triliun, sebanyak 48,6% nya terkait dengan utang luar negeri (ULN).
Di tengah volatilitas pasar yang tinggi dan rupiah yang terdepresiasi risiko muncul dari meningkatnya beban bunga yang harus ditanggung perusahaan. Di tengah pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi yang tak berkesudahan korporasi termasuk BUMN mengalami penurunan kinerja keuangan. Jelas ini menjadi beban bagi pemerintah.
Data BI menunjukkan bahwa total ULN BUMN pada Oktober tahun ini mencapai US$ 210,8 miliar. Menggunakan asumsi kurs Rp 14.000/US$ maka totalnya mencapai Rp 2.951,2 triliun.
Meski jika dibandingkan dengan total ULN korporasi Indonesia pangsanya masih di bawah 30% akan tetapi pertumbuhannya sangat signifikan. Pada Oktober saja total ULN BUMN tumbuh 18,6% (yoy) ketika total ULN swasta hanya 6,4% (yoy).
((BERSAMBUNG HALAMAN SELANJUTNYA))
Selain masalah utang sebenarnya kinerja keuangan BUMN juga tak bisa dikatakan ciamik. Malahan ada tren penurunan kinerja jika dilihat dari sisi kemampuan mencetak laba dan produktivitas. Hal ini disampaikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporannya yang bertajuk Reforms, Opportunity, and Challenges for State Owned Enterprise.
Untuk mengukur rasio profitabilitas ADB menggunakan dua metrik yaitu rasio laba terhadap modal (ROE) dan laba terhadap aset (ROA). Tren rasio keuangan tersebut menunjukkan peningkatan hingga tahun 2012 dan penurunan di tahun-tahun berikutnya.
Pendapatan dan laba BUMN terhadap output perekonomian nasional telah menurun sejak saat itu 2012, sehingga ROA dan ROE juga menurun. Lebih lanjut ADB melihat penurunan rasio profitabilitas ini sebabkan oleh sektor keuangan, sumber daya alam dan sektor energi.
"Secara keseluruhan, ROE untuk BUMN yang melantai di Bursa Efek Indonesia cukup tinggi pada tahun 2009, tetapi kemudian berbalik arah sehingga ROE [BUMN RI] lebih rendah dari tolok ukur internasional" tulis laporan tersebut.
Lebih lanjut, ADB juga menyoroti tren penurunan efisiensi dari perusahaan pelat merah nasional. Rasio perputaran aset sebagai indikator sederhana dari efisiensi produktif turun hampir setengahnya antara 2013 dan 2017.
Rasio perputaran aset menggunakan formula pendapatan dibagi dengan asetnya. Rasio ini menunjukkan seberapa efektif aset digunakan untuk menghasilkan pendapatan (proksi konsep ekonomi intensitas modal output).
Rasio untuk BUMN non-keuangan turun menjadi hampir setengahnya, dari hampir 80% pada tahun 2013 menjadi 42% pada tahun 2017. Hal ini menunjukkan penurunan yang substansial dan cepat dalam keefektifan BUMN dalam mengelola aset menjadi pendapatan.
Penurunan bisa dilihat di banyak sektor. Namun yang kontribusinya besar adalah sektor energi yang menyumbang tiga per lima dari aset BUMN non-finansial.
Banyak BUMN yang terlilit utang. Beberapa BUMN strategis yang utangnya menggunung dan menjadi sorotan salah satunya adalah BUMN Karya yang menjadi salah satu alat pemacu pembangunan infrastruktur nasional.
Beberapa BUMN bahkan hampir kolaps karena saking tingginya beban utang dan tak mampu membayar. Sebut saja emiten baja PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang harus restrukturisasi utang hingga lebih dari Rp 20 triliun.
Kemudian adalagi emiten penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang juga harus mendapat dana talangan dari pemerintah untuk membayar utang kepada investornya.
Kondisi semakin diperburuk ketika banyak dari BUMN yang utangnya jatuh tempo di tahun ini. Saat defisit APBN bengkak sampai 6% dari PDB karena penerimaan pajak seret sementara biaya pemerintah meningkat, banyak BUMN yang harus menunggu dana talangan dari pemerintah untuk tetap hidup dan bertahan.
CNBC Indonesia mencatat, sampai periode November 2020, terdapat 14 surat utang dari 9 BUMN dengan nilai pokok obligasi yang jatuh tempo sebesar Rp 10,16 triliun.
Dari jumlah tersebut beberapa BUMN yang menerbitkan surat utang bervariasi, mulai dari BUMN yang bergerak di sektor properti, perbankan, infrastruktur hingga perusahaan di industri pertahanan.
Misalnya saja, PT PP Properti Tbk (PPRO), menerbitkan MTN IX dan X milik perseroan senilai Rp 213 miliar dan 200 miliar. MTN V Tahun 2017 PT Wika Realty juga jatuh tempo 8 November dengan nilai pokok Rp 250 miliar.
Tidak hanya itu, obligasi PT Pupuk Indonesia senilai Rp 2,60 triliun juga jatuh tempo 9 November. Dua obligasi yang diterbitkkan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) masing-masing Rp 654 miliar dan Rp 4,45 triliun jatuh tempo pada 10 November dan 15 November.
BUMN lainnya, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menerbitkan Obligasi Berkelanjutan III Tahap I Tahun 2019 Seri A dengan nilai pokok Rp 737,85 miliar dan jatuh tempo 17 November.
Sementara itu, terdapat 3 obligasi milik PT Pindad (Persero) yang jatuh tempo dengan nilai pokok sebesar Rp 482 miliar.
Pemerintah tak bisa tinggal diam melihat kondisi BUMN yang miris tersebut. Stimulus digelontorkan untuk tetap menjaga BUMN sebagai motor penggerak perekonomian domestik. Namun keterbatasan anggaran pun membuat tak semua BUMN diselamatkan oleh pemerintah.
Hanya beberapa BUMN strategis yang nasibnya ada di titik nadir serta berperan untuk menjadi motor penggerak perekonomian. Jika mengacu pada Peraturan Menteri BUMN Nomor 8 tahun 2020 setidaknya ada lebih dari 10 BUMN yang bakal diberi suntikan dana PEN oleh pemerintah dengan berbagai skema.
Untuk beberapa BUMN strategis yang memiliki piutang dari pemerintah, maka akan disuntik dana dengan skema pencairan hutang pemerintah ke BUMN. Total anggarannya mencapai Rp 113.48 triliun.
Dua BUMN strategis yang bakal mendapat dana ini dalam jumlah yang besar adalah PLN dengan nilai Rp 48,46 triliun dan Pertamina senilai Rp 45 triliun. Tak ketinggalan BUMN konstruksi sebagai motor penggerak proyek strategis nasional (PSN) juga bakal mendapat suntikan senilai Rp 12,16 triliun.
Kemudian ada sebanyak 7 BUMN yang bakal mendapatkan suntikan dana dalam bentuk penanaman modal negara (PMN). Beberapa BUMN tersebut adalah Hutama Karya, Bahana, PNM, PTPN, PT KAI, Perumnas dan ITDC. Total dana yang dianggarkan mencapai Rp 23,65 triliun.
Sementara itu ada dua BUMN yang terlilit utang yang besar yaitu Garuda Indonesia (GIAA) dan Krakatau Steel (KRAS) yang bakal mendapat suntikan dana dari pemerintah sebesar Rp 11,5 triliun dalam bentuk pinjaman convertible bonds.
Artinya dua emiten ini nantinya harus menerbitkan obligasi wajib konversi ke saham kepada pemerintah melalui private placement atau Penanaman Modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD).
Sehingga secara total dana suntikan pemerintah untuk BUMN mencapai Rp 148,63 triliun.
Dari dana untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dianggarkan sebesar Rp 677,2 triliun, ongkos penyelamatan BUMN saja sudah mencapai 22% sendiri. Ini hanya menghitung dari nominal stimulusnya saja belum dihitung dari ongkos yang sifatnya kontribusi BUMN ke pendapatan negara seperti pajak dan dividen lho.
Memang BUMN punya andil besar terhadap aktivitas perekonomian terutama dalam hal serapan tenaga kerja. Namun bayangkan saja jika BUMN-BUMN Tanah Air ini sehat dengan rasio utang yang tidak membengkak maka tidak akan memberatkan anggaran pemerintah.
Sudah seharusnya BUMN menjadi tulang punggung perekonomian, bukan beban. Ini menjadi PR besar menteri BUMN Erick Thohir untuk membenahi kinerja dan tata kelola BUMN yang lebih efisien dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), profesional, dan terbebas dari KKN maupun kepentingan politik praktis.
Sayangkan kalau BUMN kelihatannya garang tapi nyatanya keropos. Sayang juga kan kalau BUMN bukan jadi mesin pencetak uang tapi malah pencetak utang.